Mohon Maaf Kepada Seluruh Pembaca, Karena Kesibukan Admin Blog Ini Jadi Jarang Update. Insyaallah Kedepannya Akan Lebih Sering Update Demi Kelangsungan Dakwah.
________________

Sabtu, 25 September 2010

Sirah Shahabat : Qeis bin Sa'ad bin 'Ubadah

QEIS BIN SA’AD BIN ‘UBADAH
Kalau tidaklah karena Islam,
Maka ialah ahli tipu muslihat arab
Yang paling lihai !


Walaupun usianya masih muda, orang-orang Anshar memandangnya seperti seorang pemimpin. Mereka mengatakan, “Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qeis dengan harta kami, niscaya akan kami lakukan.”. Sebabnya ia berwajah licin, tak ada suatupun kekurangan dari sifat-sifat kepemimpinannya yang lazim terdapat pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal janggut yang oleh para pria dijadikan sebagai tanda kejantanan pada wajah-wajah mereka.
Nah, siapakah kiranya pemuda yang sangat dicintai kaumnya ini, sampai-sampai mereka siap mengurbankan harta untuk membelikan janggut yang akan menghiasi mukanya, sebagai penyempurna bentuk luarnya bagi kebesaran hakiki dan kepemimpinan yang tinggi yang sudah dimilikinya?
Itulah dia Qeis bin Sa’ad bin ‘Ubadah!


Berasal dari keluarga Arab yang paling dermawan dari turunannya yang paling mulia. Suatu keluarga yang Rasulullah saw. pernah berkata terhadapnya :

“Kedermawanan menjadi tabi’at anggota keluarga ini!”

Ia adalah seorang lihai yang banyak tipu muslihat, seorang yang mahir, licin dan cerdik, dan orang yang terus terang mengatakan secara jujur tentang dirinya :
“Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membikin tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab manapun!”
Sebabnya, karena ia adalah orang yang tinggi kecerdasannya, banyak akal dan encer otaknya.
Pada peristiwa perang Shiffin ia berdiri di fihak Ali menentang Mu’awiyyah. Maka duduklah ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang mungkin akan membinasakan Mu’awiyyah dan para pengikutnya di suatu hari atau pada suatu ketika kelak. Namun ketika ia menyaring macam-macam muslihat yang telah memeras kecerdasannya. Namun, ketika ia menyaring itu disadarinya bahwa itu adalah suatu muslihat jahat yang membahayakan. Maka teringatlah ia akan firman Allah SWT. :

وَلا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلا بِأَهْلِهِ

“Dan tipu daya jahat itu akan kembali menimpa orangnya sendiri!”
(QS. Fathir : 43)

Maka iapun segera bangkit, lalu membatalkan cara-cara tersebut sambil memohon ampun kepada Allah, serta mulutnya seakan-akan hendak mengatakan, “Demi Allah, seandainya Mu’awiyyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena keshalehan dan ketakwaan kita.”
Sesungguhnya pemuda Anshar suku Khazraj ini, adalah dari suatu keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia dari seorang pemimpin besar kepada pemimpin besar pula. Ia adalah anak dari Sa’ad bin ‘Ubadah, seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui riwayatnya dibelakang kelak.
Sewaktu Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qeis dan menyerahkannya kepada Rasul sambil berkata, “Inilah khadam anda ya Rasulullah!” Rasul dapat melihat pada diri Qeis segala tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri kebaikan. Maka dirangkul dan didekatkannya ke dirinya dan senantiasalah Qeis menempati kedudukan di sisi Nabi.
Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan,”Kedudukan Qeis bin Sa’ad bin ‘Ubadah di sisi Nabi, tak ubah seperti ajudan.”
Selagi Qeis memperlakukan orang-orang lain sebelum ia masuk Islam dengan segala kecerdikannya, mereka tak tahan akan kelihaiannya. Dan tak ada seorangpun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitungkan kelihaiannya ini secara hati-hati. Maka setelah ia memeluk Islam, Islam mengajarkan kapadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan. Ia adalah seorang anak muda yang banyak amalnya untuk masuk Islam, karena itu dikesampingkannya kelihaiannya, dan tidak hendak mengulangi tindakan-tindakan liciknya masa silam. Setiap ia menghadapi suatu kejadian yang sukar, ia ingat kepada prakteknya yang lama, segera sadarkan diri lalu diucapkannya kata-kata yang bersayap, “Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab!”
Tak ada perangai alain pada dirinya yang lebih menonjol dari kecerdikannya kecuali kedermawanannya. Dermawan dan pemurah bukanlah perangai baru bagi Qeis, karena ia adalah dari keluarga yang turun-temurun terkenal dermawan dan pemurah.
Bagi Qeis sebagai telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang paling dermawan dan suka membantu di antara suku-suku Arab, ada petugas yang sering berdiri di tempat ketinggian memanggil para tamu untuk makan siang bersama mereka, atau sengaja menyalakan api di malam hari untuk menjadi petunjuk bagi para musafir yang lewat. Orang-orang di zaman itu mengatakan, “ Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir ke benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah!” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua dari Qeis. Di rumah bangsawan inilah Qeis mendapat didikan kedermawanan dan kepemurahan.
Di suatu hari Umar dan Abu Bakar bercakap-cakap sekitar kepdermawanan dan kepemurahan Qeis sambil berkata, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kepemurahannya, niscaya akan habis licin harta orang tuanya!” Pembicaraan tentang anaknya itu sampai kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, maka serunya, “Siapa dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar? Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku!”
Pada suatu hari pernah ia memberi pinjaman pada salah seorang kawannya yang kesukaran dalam jumlah yang besar. Pada hari yang telah ditentukan guna melunasi utang, pergilah orang itu untuk membayarnya kepada Qeis. Ternyata Qeis tidak bersedia menerimanya, ia hanya berkata, “Kami tak hendak menerima kembali apa-apa yang telah kami berikan.”
Fithrah manusia mempunyai kebiasaan yang tak pernah berubah-ubah, dan sunnah (hukum) yang jarang berganti-ganti yaitu : di mana terdapat kepemurahan, terdapat pula keberanian. Benarlah, sesungguhnya dermawan sejati dan keberanian sejati adalah dua saudara kembar yang tak pernah berpisah satu dan lainnya selama-lamanya. Dan bila anda menemukan kedermawanan tanpa keberanian, ketauhilah bahwa yang anda temukan itu bukanlah sebenarnya kepemurahan, tetapi suatu gejala kosong dan bohong dari gejala-gejala melagakkan diri dan membusungkan dada. Demikian pula bila bertemu keberanian yang tidak disertai kepemurahan, ketahuilah pula bahwa itu bukanlah keberanian sejati, ia tak lain serpihan dari berani membabi buta dan kecerobohan!
Maka tatkala Qeis bin Sa’ad memegang teguh kendali kepemurahan dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat tali keberanian dan kepeloporan dengan tangan kirinya. Seolah-olah ialah yang dimaksud dengan ungkapan sya’ir :
“Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan,
maka segala kekejian berubah menjadi kebaikan.”
Keberaniannya telah termasyhur pada semua medan tempur yang dialaminya beserta Rasulullah saw. selagi beliau masih hidup. Dan kemasyhuran itu bersambung pada pertempuran-pertempuran yang diterjuninya sesudah Rasul meninggal dunia. Keberanian yang selalu berlandaskan kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kelihaian dan kelicikan. Dengan mempergunakan cara terbuka dan terus terang secara berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isyu dari belakang dan tidak pula dengan tipu muslihat busuk, tentu saja membebani dirinya dengan kesukaran dan kesulitan yang menekan.
Semenjak Qeis membuang jauh kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi licik dan bersilat lidah curang, dan ia membawakan diri dengan perangai berani secara terbuka dan terus terang, maka ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini, dan bersedia memikul akibat kesukaran yang silih berganti dengan hati yang rela.
Sesungguhnya keberanian sejati memancar dari kepuasan pribadi orang itu sendiri. Kepuasan ini bukan karena dorongan hawa nafsu dan keuntungan tertentu, tetapi disebabkan oleh ketulusan diri pribadi dan kejujuran terhadap kebenaran.
Demikianlah, sewaktu timbul pertikaian di antara Ali dan Mu’awiyyah, kita lihat Qeis bersunyi-sunyi memencilkan dirinya. Dan terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kepuasannya itu. Hingga akhirnya demi dilihatnya kebenaran itu berada di pihak Ali, bangkitlah ia dan tampil kesampingnya dengan gagah berani, teguh hati dan berjuang secara mati-matian. Di medan perang Shiffin, Jamal dan Nahrawan, Qeis merupakn salah seorang pahlawannya yang berperang tanpa takut mati. Dialah yang membawa bendera Anshar dengan meneriakkan :
“Bendera inilah bendera persatuan…
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnnya.”

Dan sesungguhnya Qeis telah diangkat oleh Imam Ali sebagai Gubernur Mesir. Tapi sudah semenjak lama Mu’awiyyah selalu mengincarkan matanya ke wilayah ini. Ia memandangnya sabagai permata berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang amat didambakannya. Oleh karena itu tidak lama setelah Qeis memangku jabatan sebagai kepala daerah itu, hamper terbit gilanya karena takut Qeis akan menjadi halangan bagi cita-citanya terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia beroleh kemenangan sejati nanti atas Imam Ali dengan kemenangan yang menentukan.
Begitulah Mu’awiyyah berusaha dengan tipu daya dan muslihat yang tidak terbatas pada satu corak saja, mambangkitkan kemarahan yang tidak terbatas dari Imam Ali terhadap Qeis, sampai akhirnya Imam Ali memanggilnya dari Mesir.
Di sini Qeis memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya dengan berencana. Ia telah mengetahui berkat kecerdaasannya bahwa Mu’awiyyahlah yang memegang peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qeis ke pihaknya untik memusuhi Imam Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.
Maka untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qeis memperkuat sokongannya terhadap Ali dan terhadap kebenaran yang diwakili Ali. Seorang pemimpin yang saat itu tempat tersangkutnya kesetiaan dan kepercayaan teguh dari Qeis bin Sa’ad in ‘Ubadah.
Demikianlah, tidak sedikitpun dirasakannya bahwa Imam Ali telah memecatnya dari Mesir. Bagi Qeis, taka ada artinya wilayah kekuasaan, tak ada artinya pangkat kepemimpinan dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sekedar sarana guna mangabdikan diri bagi aqidah dan Agamanya. Sekalipun jabatan kepala daerah di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada yang haq, namun kedudukan di dekat Imam Ali di medan laga adalah suatu jalan lain yang tak kurang penting dan menggairahkan.
Keberanian Qeis mencapai puncak kejujurannya dan kematangannya sesudah syahidnya Ali dan dibai’atnya Hassan. Sesungguhnya Qeis memandang Hassan r.a. sebagai tokoh yang cocok menurut syari’at untuk menjadi Imam (kepala negara), maka berjanji setialah ia kepadanya, dan berdiri di sampingnya sebagai pembela, tanpa mempedulikan bahaya yang akan menimpa.
Dan dikala Mu’awiyyah memaksa mereka untuk menghunus pedang, bangkitlah Qeis memimpin lima ribu prajurit dari orang-orang yang telah mencukur kepala mereka sebagai tanda berkabung atas wafatnya Ali. Hassan mengalah dan lebih suka membalut luka-luka muslimin yang telah sedemikian parah, maka disuruhnya menghentikan perang yang telah menghabiskan nyawa dan harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyyah dan kemudian bai’at kepadanya.
Di sinilah Qeis mulai merenungkan lagi masalah tersebut, maka menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Hassan adalah benar, maka pasukan Qeis tetap menjadi tanggung jawabnya dan piliha terakhir terletak atas hasil keputusan dan musyawarah. Maka semua mereka dikumpulkannya, lalu ia berpidato di hadapan mereka sambil berkata:
“Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut terlebih dahulu! Tapi, jika kalian memilih perdamaian maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu.”
Pasukan tentaranya memilih yang kedua maka dimintanya keamanan dari Mu’awiyyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena dilihatnya taqdir telah membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih serta berbahaya !
Pada tahun 59 H, di kota Madinah Al-Munawwarah, telah pulang ke Rahmatullah seorang pahlawan, yang dengan keislamannya dapat mengendalikan kecerdikan dan keahlian tipu muslihatnya serta menjadikan obat penawar bisa.
Telah berpulang tokoh yang pernah berkata, “Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka. Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini.”
Ia telah tiada dalam kedamaian, dengan meninggalkan nama harum sebagai seorang laki-laki yang jujur, terus terang, dermawan dan berani.
Benar, ia telah berpulang dengan mewariskan pusaka nama baik seorang laki-laki terpercaya, baik tentang watak keislamannya maupun tentang tanggung jawab dan menepati janji.



Ditulis ulang oleh : Mahib ats-Tsaqib al-Qeis (Irvan Riviandana)
Sumber : Khalid, Muh. Khalid. Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah. CV. Diponegoro. Bandung: 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar