Mohon Maaf Kepada Seluruh Pembaca, Karena Kesibukan Admin Blog Ini Jadi Jarang Update. Insyaallah Kedepannya Akan Lebih Sering Update Demi Kelangsungan Dakwah.
________________

Senin, 18 April 2011

Daftar Judul Buku dan VCD/DVD Kristologi

Assalamu'alaikum wr. wb.

Berikut daftar judul buku dan VCD/DVD Kristologi koleksi Forum Silaturrahim Remaja Masjid Muthmainnah - Himpunan Muda Muslim Riau (FSRMM - HIMMURI) bekerja sama dengan yayasan Birrul Walidain Bekasi.

Buku dan VCD/DVD ini sebagian besar merupakan hasil karya Ust. Insan LS Mokoginta, seorang mantan Kristen yang kini telah Muslim dan menjadi pakar Kristologi Nasional. Merupakan peraih Muallaf Award tahun 2006 dan 2007 yang telah mengislamkan ratusan orang dan menyelamatkan aqidah ratusan orang Islam pula yang hampir dimurtadkan.


Berikut daftar harganya :

B U K U - K R I S T O L O G I
Judul Buku
Harga/satuan
Dialog Rasional Islam - KristenRp. 10.000,-
Apakah Semua Agama Benar?Rp. 10.000,-
Ramalan Tentang Nabi Muhammad Dalam Kitab Suci Agama LainRp. 10.000,-
Samakah Isa dalam al-Qur'an Dengan Yesus Dalam Injil?Rp. 10.000,-
13 Alasan Mencintai Yesus Harus Masuk IslamRp. 15.000,-
Benarkah Yesus Mati Menebus Dosa?Rp. 15.000,-
Kontroversi Hari SabatRp. 15.000,-
Siapakah Yang Dikorbankan, Ishak Atau Ismail?Rp. 15.000,-
101 Bukti Yesus Bukan TuhanRp. 15.000,-
Mana Yang Porno, Alkitab Atau al-Qur'an?Rp. 15.000,-
Debat al-Qur'an VS Bibel (Via SMS)Rp. 20.000,-
Silsilah Muhammad VS YesusRp. 20.000,-
Bagaimana Berdakwah Dengan Kristologi?Rp. 20.000,-
Debat Muallaf VS MUrtadin (Via SMS)Rp. 20.000,-
Mana Yang Bisa Dipercaya, al-Qur'an Atau Alkitab?Rp. 20.000,-
Mustahil Kristen Bisa Membuktikan (Berhadiah Honda Jazz)Rp. 20.000,-
Mustahil Kristen Bisa Menjawab (Berhadiah Mobil BMW)Rp. 20.000,-
Cahaya Ilahi Dari Gaza Untuk Insan AtheisRp. 20.000,-
10 Alasan Pengikut Yesus Harus Masuk IslamRp. 25.000,-
Akhirnya Sekeluarga Itu Masuk Islam (Narasi)Rp. 35.000,-
Sekeluarga Itu Akhirnya Masuk Islam (Komik)Rp. 35.000,-
Tanya Jawab Islam - Kristen Dalam PenjaraRp. 40.000,-
Finally That Family Converted to IslamRp. 40.000,-
Saya Rela Dipenjara Karena IslamRp. 40.000,-
Indeks Kesalahan AlkitabRp. 50.000,-
Rahasia Sex PaulusRp. 50.000,-
Dokumen Pemalsu AlkitabRp. 60.000,-
V C D / D V D - K R I S T O L O G I
Judul VCD/DVD
Harga/satuan
41 Pendeta Penghujat Islam, Masuk Penjara (DVD)Rp. 10.000,-
Kisah Mantan Pendeta Waloni (DVD)Rp. 10.000,-
Pendeta Penghujat Islam, Markus Ali Attamimi Masuk Islam (DVD)Rp. 10.000,-
Motivator Reza M. Syarief - Exellence (DVD)Rp. 10.000,-
Motivator Reza M. Syarief - Smart Business (DVD)Rp. 10.000,-
The Amazing Child - Kisah Anak Penghapal Qur'an (DVD)Rp. 10.000,-
Mustahil Kristen Bisa Menjawab - Berhadiah BMW (VCD)
Rp. 25.000,-

Dialog Masalah Ketuhanan Yesus (VCD)Rp. 25.000,
Mana Yang Benar, Islam Atau Kristen? (VCD)Rp. 25. 000,
Debat Muallaf VS Murtadin (VCD)Rp. 35.000,-
Konsep Keselamatan Dalam Alkitab (VCD)Rp. 35.000,-
Pengaruh Paulus Dalam Alkitab (VCD)
Rp. 35.000,-
Siapa Isa (Yesus), Tuhan Atau Manusia? (VCD)Rp. 35.000,-




Buku dan VCD/DVD ini bisa anda dapatkan pada jam kerja di :
Sekretariat FSRMM-HIMMURI, Jl. Kartini - Kompleks Masjid Muthmainnah POLDA Riau, Pekanbaru - Riau.


Atau bagi anda bisa menghubungi contact person :
1. HIMMURI CENTER : 0898 4258 854
2. Wilayah Pekanbaru : 0852 6566 0833
3. Wilayah Yogyakarta : 0857 2930 2332


*Untuk anda yang berada di luar wilayah kami, bisa menghubungi nomor HIMMURI CENTER.

Untuk sistem pemesanan luar kota Pekanbaru, anda bisa mengikuti mekanisme berikut :
1. Hubungi contact person untuk memesan judul yang ingin dibeli
2. Contact person akan sesegera mungkin menghubungi sekretariat pusat di Pekanbaru dan mengecek ketersediaan stock judul yang diminta
3. Setelah stock judul dikonfirmasi tersedia, contact person akan menghubungi anda
4. Anda dapat langsung men-transfer uang pembelian (selama masa promosi - hingga juni 2011, uang jasa pengiriman paket ditanggung oleh pihak kami) ke rekening kami di Bank Mandiri dengan nomor rekening : 108 001 033 007 5
5. Segera konfirmasi ke contact person kami apabila uang telah di-transfer
6. Pesanan akan segera kami kirim ke alamat anda
7. Khusus untuk kota Yogyakarta, pesanan anda akan dikirim ke alamat anggota kami di Yogyakarta, lalu anggota kami tersebut akan menghubungi dan mengantarkan langsung kepada anda

Demikian segala keterangan dan penjelasan, jika ada yang kurang dimengerti anda dapat menghubungi contact person kami, atau juga dapat menanyakan via komentar postingan ini, atau juga dapat bertanya di Facebook kami FRSMM - HIMMURI.

Terima kasih, barakallah...

Wassalamu'alaikum wr. wb.

~M.T.Q~

selengkapnya...

Selasa, 29 Maret 2011

Episode Seorang Hamba

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Saudaraku yang budiman, sungguh saat ini ada sebuah rasa yang menyesak di dada...
Menghantarkan jari-jari ini segera menggelitik keyboard laptop untuk menuangkan segala pikiran ini...
Sungguh inginnya, sampai saya tak lagi merasakan kantuk padahal saat menulis artikel ini saya belum lagi tidur seharian...

Saudaraku, beberapa bulan terakhir dalam rantauku di Yogyakarta, kudapati sekian ilmu yang amat bermakna...
Ilmu tentang kehidupan, tapi ini lebih dari sekedar itu...

Mungkin anda perlu tahu latar belakang saya...
Ya, saya adalah seorang yang punya hobi mendekatkan diri pada Allah SWT, sang Rabb tunggal semesta alam.
Bahkan demi supaya bisa dekat dengan-Nya, saya memutuskan untuk mengabdikan diri ini hanya untuk-Nya...
Beribadah kepada-Nya, berjuang pula di jalan-Nya...

Dan ternyata sepertinya cinta ini tak bertepuk sebelah tangan...
Allah membalasnya dengan memberikan gift berupa hidayah, dan mengenalkan saya pada jalan panjang bernama dakwah...

Terus saya geluti dunia ketauhidan...
Semakin lama, semakin dalam menyelam...
Hingga kini sepertinya saya menjadi kecanduan, dan tak bisa lepas dari jalan itu...
Walaupun banyak peluang untuk berhenti, tapi alhamdulillah saya masih bertahan, dan insyaallah akan terus bertahan...

Berjuang di dakwah benar-benar membentuk kepribadian saya...
Saya menjadi amat cinta dengan masjid, Qur'an, dan yang paling spesial adalah Allah menghadiahkan saudara-saudara terindah dalam hidup saya yang menemani hingga ujung jalan nanti (insyaallah).

Saya begitu gandrungnya dengan tarbiyah, saya begitu idealisnya memegang syariah, dan saya begitu eratnya menggenggam ukhuwah... Inilah dakwah, yang membentuk saya menjadi manusia yang berpasrah hanya kepada Allah yang Maha pemurah...

Namun ternyata tak cukup sampai di situ Allah memberi saya hadiah...
Ia lalu menggariskan bahwa saya harus merantau jauh dari sebuah kota bernama Pekanbaru, tempat awal saya berjuang, menuju kota Yogyakarta, tempat saya harus menimba ilmu di bangku perkuliahan...

Di sini (Yogyakarta) pun lantas saya tak juga bisa meninggalkan hobi yang satu itu...
Saya terus mencari dan mencari dimana saya bisa meneruskan dakwah saya...
Dan alhamdulillah sampai saya mengetik artikel inipun saya masih berusaha terus istiqomah...

Namun ternyata ada sesuatu yang berbeda...
Di Yogyakarta atau yang biasa disebut Jogja ini, Allah memperlihatkan saya pada banyak hal yang amat memberi saya pelajaran tentang dakwah...

Dalam pencarian saya akan hidayah di Jogja, saya menemukan banyak hal baru yang belum pernah saya temui sebelumnya...
Dan anehnya, hal-hal itu semakin menambah kekuatan saya untuk terus berada dalam ketaatan kepada Allah meski saya jauh dari pembinaan awal...

Ya, jika di Pekanbaru dulu saya hanya belajar banyak teori tentang dakwah, bergaul hanya dengan orang-orang yang sudah tersentuh hidayah, dan tantangan yang dihadapi pun masih tergolong mudah hanya menghadapi guru atau warga yang suka marah-marah karena kekurang pahaman mereka terhadap dakwah... Maka disini jauh lebih kompleks daripada itu...

Demi Allah, pengalaman saya di kota Jogja ini benar-benar mengantarkan saya kepada syukur yang teramat atas kehidupan yang pernah saya alami sebelumnya...

Disana (Pekanbaru), saya tinggal bersama kedua orang tua, semua fasilitas terpenuhi, kasih sayang terpenuhi, hidup enak dan dimanja. Sedangkan ketika saya disini (Jogja), saya hidup sendiri, berjuang mengatasi segala masalah sendiri, tak ada kelengkapan fasilitas dan harus pintar-pintar mengatur kehidupan.

Disana, saya bersama dengan orang-orang sholeh yang tulus berjuang di jalan Allah, mereka semua saling mendukung dan berukhuwah. Sedangkan disini, saya merasa sulit mencari orang-orang dengan kaliber ketulusan dakwah seperti mereka, adapun hanya beberapa.

Disana, saya punya adik-adik binaan yang tak hanya sekedar hubungan mentor dan mentee, tapi sudah seperti saudara kandung, bahkan lebih dekat dari itu. Disini, saya tak menemukan adik sedekat dan sebaik mereka. Saya memang membina generasi penerus, tapi hubungannya tak lebih dari guru dan murid, dibatasi kepentingan transfer ilmu, tak lebih dari itu.

Namun, dengan kondisi disana yang amat nyaman dan kondusif, saya masih berdakwah malas-malasan, masih berjuang enggan-engganan, masih beramal karena-karenaan.
Tapi disini, saya melihat banyak ikhwah yang kondisinya lebih memprihatinkan, namun perjuangan mereka jauh lebih dahsyat. Mereka rela tak makan demi bisa mengurusi dakwah ini, mereka rela tak tidur demi menegakkan agama ini.
Allahuakbar, betapa malunya saya melihat kenyataan ini...

Saya bertanya-tanya, sebenarnya kenapa bisa mereka seperti itu?

Lalu saya pun bertualang mencari jawabannya...

Saya kembali menganalisa, apa itu dakwah?
Mengajak, iya benar. Mengajak kepada apa?
Mengajak untuk berbuat baik dan mengajak untuk menjauhi keburukan, yap betul. Tapi mengajak siapa?
Nah, siapa nya ini lah yang menjadi sebuah dilema.

Risalah Islam dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. Sebagaimana firman Allah SWT :
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya' : 107)

Artinya, Rasul diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, Rasul diutus untuk apa? Tentu untuk menyampaikan risalah Islam. Nah, berarti risalah Islam itu sendiri adalah rahmat bagi seluruh alam.

Apa maksud rahmat bagi sekalian alam?
Tentu adalah Islam sebagai agama hadir di muka bumi untuk membawa sebuah kedamaian, kasih sayang, dan kesejahteraan bagi seluruh elemen alam termasuk manusia.

Mau bukti?
Perhatikan saja Al-Qur'an, sebuah pedoman hidup yang amat shahih.
Jikalau ia diamalkan, tak hanya membawa kebaikan untuk insan pengamalnya saja, namun juga untuk lingkungan si pengamal.
Contoh bagaimana didalam Qur'an diatur hukum haramnya riba, ada pula hukum pernikahan, ada lagi hukum ketata negaraan, dan banyak lagi. Yang jika semua itu kita laksanakan, tentu akan melahirkan sebuah keseimbangan di muka bumi.

Berarti, Islam bersifat universal, bahkan bisa berlaku pula untuk kalangan kafir, munafik, musyrik, yang mana bila mereka melaksanakan tata kehidupan Islam dengan baik akan mendapatkan manfaat dan kebaikannya. Apalagi jika mereka benar-benar beriman kepada Allah.

Permasalahannya sekarang adalah, banyak orang tak menyadari bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin. Akibat si musuh nyata yakni syaitan, ia menghembuskan ke dalam hati orang-orang yang ingkar untuk membenci syariat ini dan menghancurkan orang-orang yang menjalankannya. Disinilah terjadi konflik antara yang haq (yakni yang datangnya dari Allah) dengan yang bathil (yakni yang dihembuskan syetan).

Maka, agar semua orang sadar bahwa Islam itu rahmat bagi sekalian alam, dan agar yang bathil itu benar-benar bisa ditumpas, solusinya adalah dengan dakwah.

Pertanyaannya lagi adalah, sudah sejauh mana dakwah kita?

Pertanyaan ini yang jawabannya nanti akan menjadi jawaban bagi pertanyaan mengapa banyak aktifis yang rela berjuang mati-matian untuk dakwah, sementara ada pula yang berjuang dengan malas-malasan untuk dakwah ini.

Ya, lagi-lagi saya melakukan analisa, kali ini tak cuma sekedar logika.
Karena jawaban pertanyaan ini adanya di lapangan.

Ummat, merekalah tolok ukur sejauh apa dakwah sudah mewarnai negeri ini.
Ummat, merekalah cerminan para da'i yang getol ceramah sana sini di negeri ini.
Ummat, hanya dari mereka kita bisa tahu apakah perjuangan kita itu berarti atau malah dianggap basi.

Maka sayapun terjun kepada ummat.
Awalnya tentu dari yang terdekat, dulu ketika masih di kampung halaman saya biasa berdakwah kepada saudara-saudara dan adik-adik yang telah tersaring seleksi alam. Ya, merekalah orang-orang pilihan yang mendapat hidayah untuk bisa bergumul dalam dunia dakwah.

Namun, dulu (bahkan terkadang sekarang pun masih) saya begitu merasa berat dakwah ke mereka. Godaan terbesar adalah pada lemahnya militansi diri sendiri. Kurangnya kepahaman akan makna dakwah dan kurangnya rasa memiliki dakwah, itulah batu penghalang yang paling menghambat gerak dakwah saya.

Padahal Allah SWT berfirman :
"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. At-Taubah : 41)

Ketika merasa ringan, oke saya berangkat. Namun ketika kemudian merasa berat, saya pun lebih menuruti hawa nafsu untuk tidak berangkat.

Lalu kemudian, ketika saya mulai beranjak ke kota rantau, saya mulai mencoba terjun lebih dalam menyelami ummat.

Mulai dari memahami karakteristik ummat cilik dengan mengajar TPA. Kemudian memahami kepribadian remaja tanggung dengan menjadi mentor siswa SMP. Lalu menyelami dunia dakwah kampus dan dakwah sekolah di Jogja. Mencoba pula mengerti bagaimana tiap gerakan-gerakan dakwah beraksi.

Lama kelamaan saya kembali berpikir, bukankah Islam itu rahmatan lil 'alamin?
Lalu mengapa saya hanya melihat satu sisi ummat yang menjadi objek Islam?

Timbul pertanyaan...
Adakah ummat ini dalam keadaan baik-baik saja?

Tiap saya melakukan perjalanan dengan motor tua saya, saya lalu memperhatikan bagaimana masyarakat di sepantaran jalan. Saya berpikir, jika selama ini saya selalu bergelut dengan para aktivis dakwah, lalu bagaimana dengan mereka? Bagaimana sentuhan dakwah di masyarakat yang 'ammah? Bagaimana kondisi ruhiyah mereka?

Saya lalu mulai hobi melakukan safari masjid. Melakukan perjalanan puluhan bahkan ratusan kilometer hanya untuk mendatangi sebuah masjid di kampung-kampung atau di kota lain yang mempunyai kultur unik, kental, dan berbeda.

Saya lalu mengikuti kajian-kajian dari berbagai tipe gerakan dan pemahaman Islam. Tak perlu saya sebutkan satu persatu, karena memang telah banyak gerakan-gerakan itu, dan mereka semua punya ciri khas dan cara memahami diin ini masing-masing. Bagi sebagian orang, tak nyaman untuk mengikuti hal yang tak seidea dengannya. Namun bagi saya, walaupun saya termasuk orang yang cukup idealis, tapi selama itu masih berpegang kepada Qur'an dan sunnah maka saya juga termasuk yang sangat menghormati perbedaan.

Ada yang orientasi politik, khilafah, tauhid dan sunnah, sosial kemasyarakatan, semua saya datangi untuk belajar melihat dari berbagai sudut pandang.

Masih belum puas dengan itu semua.
Kebetulan saya punya teman-teman kuliah yang sangat suka berekspresi, dan saya tak sungkan berteman dengan mereka. Walaupun kami tak seprinsip, tapi saya pikir kenapa saya harus menjauhi mereka. Toh saya bukan orang eksklusif, dan Islam tak pernah mengajarkan ekslusifitas.

Dari kebiasaan berekspresi itu, lagi-lagi saya menjadi semakin peka melihat lingkungan dari ragam sudut pandang.

Agenda keseharian yang padat membuat saya terpaksa sering pulang malam.
Awalnya pulang malam menjadi hal yang hambar.
Tapi lama kelamaan, lagi-lagi karena seringnya menempuh perjalanan dengan si motor tua, saya jadi memperhatikan bagaimana kondisi pengamen jalanan, ada juga anak-anak jalanan, ada penjual koran malam, ada pedagang kaki lima, ada juga anak-anak yang nongkrong di pinggir jalan, ada lagi penjaja kenikmatan sesaat yang sedang menanti pelanggan.

Kesemua itu kian menguak rasa penasaran saya.
Selama ini tak pernah saya selami bagaimana psikologis mereka.
Padahal saya dan saudara-saudara lain mengaku sebagai seorang penerus risalah. Lantas risalah seperti apa jika hanya disampaikan pada orang-orang yang sudah baik saja?

Ya, tak ada yang terpikir untuk menyentuh kalangan tadi dengan dakwah pula.
Padahal saya yakin, jika ditanya agama mereka pastilah Islam. Namun mereka jauh dari cahaya Islam. Mungkin sedikit banyaknya memang mereka tahu tentang Islam, namun seperti apa pemahaman mereka? Mengapa tak ada cahaya dakwah masuk ke mereka.

Menyelami psikologis masyarakat bawah yang jumlahnya mayoritas di negeri ini, itu menjadi sebuah pencarian jawaban tahap baru yang saya jalani.

Bersama para teman ekspresif tadi, kemudian jiwa muda kami bergejolak.
Kami berpikir bagaimana bisa mencari pengalaman sebanyak mungkin di masa muda. Namun bagi saya ada motivasi tambahan, yakni menyelami bagaimana memahami psikologis mereka dengan mencoba menjadi mereka.

Lalu eksperimen awal kami terjun mengamen.
Ya, walaupun saya cinta masjid, namun demi dakwah saya mencoba melakoni peran pengamen.
Karena saya ingin tahu apa yang ada di pikiran pengamen. Mana titik selah pikiran orang-orang seperti itu untuk bisa menerima dakwah dalam kehidupan mereka. Dan ternyata, menjadi mereka itu sulit!

Kami berjuang dua jam, menahan rasa malu dan menebalkan muka. Baru bilang permisi, kami sudah dihadapkan pada telapak tangan. Berkali-kali mencoba, hasilnya dua jam cuma dapat dua ribu rupiah. Masyaallah...

Lalu saya berpikir, seorang pengamen, bagaimana mungkin dirinya sempat memikirkan bagaimana mengisi ruhiyah-nya?
Sedangkan untuk mengisi perut saja belum tentu bisa. Apa sempat mereka memikirkan agama ini, walaupun untuk diri mereka sendiri saja?

Memang kami belum profesional dalam hal mengamen sehingga wajar cuma dapat segitu. Tapi saya rasa yang sudah perofesional pun tak kan jauh beda. Intinya untuk kehidupan sehari-hari saja fokus mereka sudah terkuras, apalagi mau membina ruhiyah?

Maka dengan kondisi seperti itu, bagaimana solusi da'i untuk menyentuh mereka? Bagaimana solusi da'i untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada mereka? Padahal mereka juga berhak. Ya, mereka berhak mendapatkan kepahaman dan pengamalan syariat ini secara kaffah.

Belum puas lagi dengan percobaan menjadi pengamen.
Suatu waktu, saya hadir dalam suatu kajian yang disana membahas tentang degradasi moral dan prilaku menyimpang di akhir zaman ini berupa perzinaan yang merajalela. Zina, ini bukan perkara sederhana. Jika hal ini sudah tak lagi terkendali, dan malah menjadi sebuah komoditi, maka inilah tanda-tanda kiamat saudaraku!

Mengingat hal itu, saya jadi terngiang firman Allah :
"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. Al-Anfaal : 25)

Ya, Allah mengatakan dalam ayat itu bahwa siksaan Allah tak hanya akan datang kepada orang-orang yang melanggar hukum-Nya, namun juga akan menimpa kita orang-orang di sekitar mereka yang tak mencegah atau pun melakukan dakwah kepada mereka, padahal kita tahu dan kita mampu.

Saya teringat bahwa di Jogja ada sebuah tempat yang menjadi pusat lokalisasi tersohor, 'Pasar Kembang'. Mungkin sebagian anda biasa mendengarnya dengan sebutan 'SarKem'.
Ya, disana ada praktek prostitusi dan itu sudah berlangsung sejak lama, dan gawatnya itu sudah menjadi semacam hal lumrah. Nastaghfirullah...

Tapi, selama saya hidup dan berbicara tentang pelanggaran ummat hari ini dalam hal prostitusi, saya tak pernah melihat sebobrok apa mereka sebenarnya. Saya hanya mendengar dari cerita-cerita orang dan membaca dari tulisan-tulisan. Saya tak pernah tahu, mengapa mereka terus menjadi ummat yang bobrok? Mengapa seolah tak ada cahaya dakwah yang datang kepada mereka? Seperti apa tipikal mereka hingga para da'i enggan menjamah dunia mereka untuk di-Islamisasi?

Lalu saya mengambil langkah yang saya yakin bagi anda akan menjadi suatu langkah yang kontroversial. Saya sebenarnya sudah tahu langkah ini nantinya akan menimbulkan ragam reaksi diantara anda. Tapi saya mengambil keputusan ini karena Allah. Karena saya ingin melihat kondisi ummat, memahami dari dekat seperti apa pola pikir, pola hidup, dan motivasi mereka dalam beraktivitas.

Maka saya bersama teman-teman ekspresif saya tadi berangkat lagi survey terjun lapangan. Ya, malam itu sekitar pukul 03.00 WIB dini hari kami datang ke TKP. Simpel, tujuan kami hanya ingin mencari tahu seperti apa dunia malamnya mereka.

Kami memarkir motor dan berjalan ke arah gang yang menjadi sumber kehidupan malam itu. Kami sempat ragu dan takut-takut, terutama saya. Tapi kami lalu melanjutkan masuk ke gang itu. Dan potret kehidupan yang saya lihat malam itu benar-benar membuat saya tak henti berdzikir dan beristighfar kepada Allah di dalam hati. Kami mondar-mandir dalam gang itu tak lebih dari 10 menitan saja. Namun 10 menit itu bena-benar membuat saya merasa ditampar.

Anda jangan ber-negative thinking. Survey ini saya lakukan karena Allah dan sungguh ini benar-benar yang paling menakutkan bagi saya. Sepanjang perjalanan kami dalam gang sempit itu saya tak melihat ke arah lain kecuali mata saya hanya tertuju pada jalan yang akan saya lalui. Ya, saya benar-benar harus menjaga pandangan di dalamnya. Telinga saya ini tak henti-hentinya mendengar obrolan-obrolan sensual, baik cuma sekedar pembicaraan antar sesama 'mereka', ataupun seputar negosiasi. Bahkan seorang teman saya mendapat colekan dari 'mereka', tak cuma satu kali tapi berkali-kali. Namun sepertinya Allah SWT masih melindungi saya, tak ada godaan langsung yang saya alami di dalam gang itu dan tak ada yang menegur saya. Padahal 'mereka' terus menggoda orang-orang yang lewat dengan kode-kode siulan atau psst-psst an.

Keluar dari sana dengan lutut yang bergetar, badan yang berkeringat ketakutan, jantung yang berdebar kengerian. "Ya Allah, dimana kami para hamba yang sudah berazzam di jalan dakwah-Mu ini???", tanya hati saya.

Bagaimana mungkin kami terus berkoar-koar tentang dakwah di masjid atau kampus dan sekolah-sekolah, sedangkan di sekitar kami masih ada pelanggaran berat syariat seperti ini yang tak terjamah dakwah.

Satu hal yang menarik saya temukan di gang sempit itu adalah, ternyata ada masjid didalamnya. Sebuah masjid kecil, atau mungkin kita sebut musholla. Lalu apa fungsi masjid itu disana jika praktek itu masih juga terus terjadi.

Padahal mereka bila ditanya tentu mayoritas beragama Islam. Tapi kenapa Islam tak mampu menjadi pencerahan hidup untuk mereka. Mereka pun bila ditanya motivasinya tentu karena himpitan ekonomi, tapi kenapa Islam seolah tak menjadi solusi untuk masalah mereka itu? Kenapa mereka harus melakukan praktek itu? Belum lagi maksiat sampingannya ada miras, narkoba, dan perjudian yang mewarnai lakon prostitusi.

Jawabannya adalah, karena tak adanya dakwah menyinari mereka. Bagaimana hidayah bisa datang jika sholat pun mereka jarang, dan malam-malam mereka menjadi jalang.

Nastaghfirullah...

Saudaraku yang berazzam di jalan dakwah...
Sungguh yang saya tuliskan ini belum lagi semua pengalaman saya.

Saya belum menceritakan bagaimana perjuangan melawan kristenisasi saat erupsi Merapi yang lalu. Saya belum lagi menceritakan penyelaman watak ummat yang berada di pasar, atau juga yang berada di rumah-rumah sakit. Saya belum pula bercerita tentang penemuan dzikir usai shalat yang aneh dan terkesan mistik yang saya temui di derah Kulon Progo beberapa waktu yang lalu. Saya belum lagi menceritakan bagaimana saya menyelami fakta lapangan dakwah kepada non-Muslim.

Kesemua pengalaman itu nantinya akan saya ceritakan kepada saudaraku tersayang semuanya.
Insyaallah akan ada kesempatan lain kita berbincang lagi...

Namun yang pasti, dari semua pengalaman itu, saya kemudian menarik kesimpulan bahwa dakwah kita belum ada apa-apanya. Maka, pantaskah kita bermalas-malasan?

Selama ini kita hanya menyentuh orang-orang sudah dapat hidayah, tapi itupun kita masih sering mengeluh.
Padahal dakwah itu lebih luas daripada sekedar khutbah, tausyiah, kultum, halaqoh, ta'lim, kajian, mabit, dan banyak kegiatan ilmu keislaman lain yang biasa kita temui di dunia tarbiyah. Dakwah itu harus menyentuh ummat, dari yang tersholeh hingga terkufur sekalipun.

Seringkali terpikir bagi kita dalam rekrutmen dakwah, kita mem-fardhiyah-i orang-orang yang dari wajahnya sudah terlihat pancaran kebaikan. Orang-orang yang memang sudah senang duduk di masjid. Orang-orang yang sudah bisa baca Qur'an.
Tapi kenapa tak pernah terpikir oleh kita bagaimana kita bisa mendakwahi orang-orang yang punya karakter seperti Umar bin Khattab saat beliau radhiallahu'anhu masih berada dalam kekafiran?
Mengapa kita tak pernah terpikir bagaimana mendakwahi orang seperti Bilal bin Rabah yang dulunya hanya seorang budak?
Mungkin sudah banyak kita berdakwah kepada orang-orang yang mampu seperti Utsman bin Affan, atau orang-orang yang memang gandrung dengan Islam seperti Ali bin Abi Thalib atau Saad bin Abi Waqqash. Namun bagaimana dengan sisanya?

Apakah dakwah ini hanya milik langit?
Mengapa kita tak juga turun ke bumi?

Pandanglah realita saudaraku...
Yang kita hadapi adalah ummat...
Ummat dengan beragam tipenya...

Sungguh, dengan semua pengalaman itu semakin kuat azzamku di jalan dakwah ini...
Aku sungguh semakin bersyukur...
Bersyukur aku menjadi orang yang paham, bersyukur keluargaku semua dari orang-orang baik dan berkecukupan, aku bersyukur di kenalkan dengan saudara-saudara seperjuangan yang dahsyat semangat belajarnya, aku bersyukur pula mengenal pribadi-pribadi yang menautkan dirinya dengan masjid dan menjaga dirinya dari api neraka, aku bersyukur mengenal para akhwat yang menutup aurat mereka dengan sempurna. Sungguh aku bersyukur dengan semua itu...

Alhamdulillah ya Allah...
Benarlah bahwa nikmat iman dan Islam ini adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah...
Dan sekarang saatnya bagi kita untuk mendakwahi ummat. Mereka semua menunggu pencerahan dari kita, para generasi penerus di jalan dakwah...

Mari terus berjuang saudaraku...
Sambil kita terus belajar...

Janganlah jadi hamba yang manja.
Capek sedikit, ngeluh...
Sakit sedikit, ngeluh...
Salah sedikit, ngeluh...

Percayalah, di belahan bumi lain, ada ikhwah yang berjuang mati-matian demi dakwah ini.
Mereka rela tak tidur, tak makan, tak berkumpul dengan keluarga, dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka lainnya demi agar supaya dakwah ini tegak, kalimatullah ini tegak.

Tak malukah kita dengan mereka?
Padahal di depan mata kita banyak objek dakwah menunggu...
Namun karena kelemahan azzam dan militansi kita, mereka semua terlalaikan.

Kita baru menghadapi ujian yang mudah, jangan engkau berlebihan dengan bertingkah seolah ini ujian yang paling berat.

Kita belum melakukan apa-apa, jangan engkau berbangga seolah engkaulah sang pengubah dunia.

Ingat, sekiranya Allah menimpakan azab bagi negeri ini karena kekufuran penduduknya, maka orang-orang taat didalam negeri ini pun akan turut terkena azabnya.

Maka, mari terus semangat saudaraku tersayang...
Terus istiqomah...

Jalan ini masih panjang...
Jangan engkau mudah menyerah...

Jika kita lemah,
sungguh, mau ditaruh dimana muka kita jika bertemu Rasulullah saw. di akhirat nanti?

Percayalah pada janji Allah :
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali-Imraan : 104)

Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang beruntung. Yakni hamba yang mewarisi syurga 'Adn yang terdapat sungai-sungai mengalir di bawahnya. Amin...

Barallahu fi kum...

Billahi taufiq wal hidayah.
Walhamdulillahirabbil 'alamin...



~M.T.Q~

selengkapnya...

Minggu, 13 Februari 2011

Curhat Ikhwan : Jagakan Keikhlasan Hati Ini Ya Allah...



"Ya Allah... Beratnya jadi ikhwan ni...", pikir hatiku. Ya, kurasa wajar ku bergumam demikian, karena memang itu yang kurasakan. Logikanya saja, mulai dari hal kecil hingga hal besar ikhwan mempunyai tanggung jawab yang lebih daripada kaum hawa. Otomatis ketika ada apapun terjadi, tentu resiko yang harus ditanggung seorang ikhwan jauh lebih besar daripada kaum hawa. Termasuk dalam perkara dakwah.

Namun ketika kubuka surat cinta dari Allah, yaitu al-Qur'anul kariim, terbaca olehku sebuah ayat yang berbunyi 'ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' alias laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Aku sadar ternyata memang demikianlah Allah mengatur bahwa tanggung jawabku sebagai ikhwan memang harus lebih besar dan lebih berat dari saudara-saudaraku para akhwat, karena memang aku adalah pemimpin bagi mereka.

Namun yang menjadi pemikiranku hingga akupun bergumam betapa sulitnya jadi ikhwan bukanlah karena tanggung jawab atau amanahku yang porsinya lebih daripada yang akhwat itu. Perkara itu okelah aku bisa terima. Memang sudah kodratku dan akupun tak mau menjadi ikhwan dho'if yang lebih cemen daripada para akhwat. Aku tau aku bisa mengemban porsi lebih itu karena Allah memang mengaturnya demikian. Dan lagi aku juga tak tega jika harus melihat akhwat bersusah payah mengerjakan tugas yang seharusnya itu dikerjakan oleh ikhwan.

'Tak tega', nah ini dia kata kunci yang kugaris bawahi. Tak tega ini seringkali mengganggu hatiku, lebih-lebih dalam hal ini adalah tak tega kepada akhwat yang berujung pada perasaan aneh. Ini adalah permasalahn yang selalu saja membuatku pusing bukan kepalang. Disatu sisi inginnya hati, disatu sisi inginnya yang dibawah hati. Nastaghfirullah...


Aku masih terhitung muda (anggap saja begitu), dan melewati masa ini sebagai seorang ikhwan yang istiqomah tak lah mudah. Aku siap berkorban apapun untuk jalan dakwah ini. Aku siap mempelajari berbagai ilmu tafsir, takhrij hadits, ilmu sains, dan banyak ilmu Allah lainnya. Bahkan aku juga siap berjuang sampai mati di jalan ini. Ya, aku siap syahid karena Allah. Semua musuh-musuh agama ini, semua musuh-musuh dakwah ini, aku tiada gentar sedikitpun kepada mereka. Semua mereka bisa kulibas, kutebas, kupangkas, hingga mereka lari tak berbekas. Aku berani dan siap membela diin ini sampai titik darah penghabisan. Demikianlah tekadku. Ya karena aku seorang ikhwan...

Sayangnya, sedemikian beraninya aku menghadapi itu semua, masih ada yang bisa membuatku tak tega. Yakni kembali ke pembahasan tadi. Masalah akhwat...

Ya Allah...
Padahal aku begitu berani. Bahkan aku siap menjadi pelempar-pelempar sepatu selanjutnya ke wajah bush. Namun mengapa kepada makhluk yang satu ini aku begitu takut...?

Takut bukan karena wajahnya seram atau akhlaqnya kejam, sama sekali bukan... Bahkan mereka adalah makhluk terindah yang pernah Engkau ciptakan. Tapi aku justru menjadi semakin takut karena munculnya perasaan padanya ini bisa memalingkanku dari-Mu ya Allah...

Ya, sulit sekali menjaga perasaan ini. Ia sangat mudah terombang-ambing dan dibawa-bawa oleh syetan.

Suatu hari pada suatu aktifitas dakwah di suatu masjid, aku bertemu seorang akhwat yang subhanallah... Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Wajahnya tak begitu rupawan, namun manis. Tutur katanya santun, dan akhlaqnya luar biasa baik. Ibadahnya bagus, hijabnya terjaga. Pokoknya bidadari syurga. Membuat setiap mata ikhwan muda yang memandangnya jadi klepek-klepek.

Kumulai berta'aruf (berkenalan) dengannya. Karena seringnya aktifitas dakwah disana membuat kami semakin sering bertemu, sehingga proses ta'aruf pun lancar tanpa kendala. Semakin bertemu, semakin kukagum padanya. Tak habis-habis indah di wajahnya. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Sempurna menciptakan makhluk sesempurna dia.

Aku mulai mencoba mengenalnya lebih jauh. Walhasil nomor handphone nya pun kudapatkan. Malamnya aku panas dingin karena konflik hati yang mengatakan, "SMS nggak ya? SMS nggak ya?". Begitu terus sampai ribuan kali mungkin. Akhirnya kuputuskan untuk SMS dia.

Obrolan via SMS pun mulai kami jalani. Malam itu pertama kalinya aku meng-SMS dia dan ngobrol via SMS. Malam kedua konflik hati ini tak sehebat malam pertama. Jempolku mulai ringan saja mengetikkan kata demi kata lalu kukirimkan padanya. Lagi, kami ngobrol via SMS walaupun seharian tadi juga sudah bertemu di masjid. Malam ketiga, dan demikian seterusnya obrolan via SMS menjadi alternatif bagi kami untuk saling memahami.

Senangnya hati ini setiap kali SMS-an dengannya. Namun ada yang mulai aneh pada diriku. Setiap kali HP-ku berbunyi tanda SMS, aku jadi selalu segera melihatnya dengan terburu-buru sambil berharap itu SMS darinya. Namun ketika kudapati itu SMS dari seorang yang lain apalagi jika pengirim SMS itu adalah ikhwan, ada rasa kecewa dihatiku.

Jika SMS itu darinya, dengan segera ku membalasnya. Namun jika SMS itu dari yang lain apalagi dari ikhwan, kutunda-tunda untuk membalasnya, hingga bahkan seringkali aku sampai lupa untuk membalasnya.

Demikian romansa SMS antara kami terus berlangsung. Hingga pada suatu malam ia mengirim SMS padaku dengan emoticon sedih dan nangis. Kutanyakan, "Ada apa ukhti?", tapi ia tak membalas. Timbul rasa penasaran plus khawatir di hatiku. Penasaran sih wajar, tapi kenapa harus ada rasa khawatir dan cemas sampai sebegitunya ya? Ah! Aku galau...

Kembali konflik batin ini. Sama seperti yang kurasakan ketika pertama kali aku mau memulai SMS-an. Tapi kali ini pertanyaannya, "Telpon nggak ya? Telpon nggak ya?", dan akhirnya dengan dalih kepentingan dakwah dalam bentuk menjaga ukhuwah aku menipu diri sendiri dengan memutuskan untuk meneleponnya malam itu juga.

Tak kusangka begitu kuucap salam yang kudengar adalah suara isak tangis. Ia pun langsung bercerita padaku tentang masalahnya dan curhat padaku. Ya, obrolan kami pada telepon perdana itu memang hanya sebatas permasalahannya. Namun karena awal yang demikian itu, malam-malam selanjutnya aku mulai berani meneleponnya. Entah kenapa begitu tenang rasa hatiku ketika kudengar suaranya. Semakin sering, dua kali seminggu, tiga kali seminggu... Ya, hubungan kami mulai berkembang selain SMS-an, sekarang menjadi telepon-teleponan.

Lagi-lagi ada yang tak wajar. Sekarang aku mulai merasa tak puas jika hanya sekedar SMS jika tak bisa bertemu langsung. Aku rela menghabiskan uang untuk pulsa demi agar bisa meneleponnya. Padahal seringkali urusannya bukan urusan yang syar'i. Ya Allah...

Suatu ketika, saat kupulang dari masjid, kulihat ia sedang berjalan dipinggir menuju ke arah halte bis kota. Berhubung aku naik sepeda motor, kuhampiri ia. "Mau kemana ukh?", tanyaku. "Mau ke halte, pulang.", jawabnya. "Loh? Ukhti pulang naik bis ya?", tanyaku lagi. "Iya, kan memang selama ini seperti itu akh.", jawabnya dengan senyumannya yang meneduhkan. Mendengar jawabannya sontak naluriku sebagai seorang ikhwan yang ingin melindungi akhwat pun dengan sendirinya muncul. "Mari ukh, ana antarkan. Rumah ukhti dimana?", tawarku. Iapun sempat menolak dengan alasan jauh dan segala macamnya, namun karena terus kupaksa akhirnya ia tak enak juga untuk menolak.

Kuantarlah ia. Subhanallah hatiku girangnya bukan main. Malah ketika macet aku justru senang karena bisa semakin lama berdua dengannya diatas motor. "Allah memang perhatian pada hamba-Nya.", gumamku dalam hati. Sungguh senang aku saat itu. Entah darimana asalnya. Bahkan ketika aku menge-rem karena ada lubang, lalu bahunya terdorong hingga terkena punggungku, ada desiran luar biasa menjalar hingga ke hatiku. Tak pernah kurasa demikian. Biasanya kalau kuantar ibu guruku, atau bahkan adikku yang perempuan kalau hal seperti tadi terjadi tidak pernah ada respon desiran di hatiku. Tapi entah kenapa (lagi) ketika hal tadi terjadi dengannya, serrrrr~ rasanya tubuhku bergetar kegirangan.

Sesampainya dirumahnya, diapun turun dan mengucap terima kasih. Akupun bilang, "Sama-sama ukhti, lain kali anti pulang sama ana saja, toh kita searah, daripada anti naik bis, panas dan nggak nyaman. Ok?", tawarku dengan harapan agar aku bisa terus mengantarnya dan menghabiskan waktu lebih panjang dengan berdua diatas motor, dan agar aku terkesan berjasa untuknya (Na'udzubillah). Setelah itu aku kembali pulang sambil mencoba menghapal jalan kerumahnya itu. Siapa tahu kapan-kapan ada kesempatan main kerumahnya pikirku dalam hati.

Hari-hari berikutnya akupun mulai sering mengantarnya pulang. Bahkan hampir setiap hari. Jika agendaku selesai duluan sementara ia masih ada agenda, aku rela menunggunya demi aku bisa mengantarnya pulang. Rasanya aku tak mau pulang jika tak bersama dengannya agar bisa kuantar dia pulang. Bahkan aku rela mengulur-ulur waktu agar kubisa pulang dengannya.

Tiga hal diatas lah yang menyerang akhlaq dan keikhlasan hatiku.

Padahal yang kuperbuat di masjid itu adalah DAKWAH. Ya, DAKWAH, bukan perkara yang lain. Dan niat awalku berdakwah adalah KARENA ALLAH. Namun kini setelah berjumpa dengannya, niat itu perlahan melenceng.

Aku tak tahu apa yang ia pikirkan, tapi yang jelas aku kini mulai terus memikirkannya.

Tapi setiap aku memikirkannya, aku menjadi takut.
APAKAH NIAT DAKWAHKU SUDAH MELENCENG DAN TERKOTORI DENGAN HAWA NAFSU SEPERTI INI?

Bagaimana aku mau menghadapi musuh-musuh dakwah jika menghadapi musuh dalam diri sendiri yakni hawa nafsu saja aku tak kuasa?

Ya Allah...
Inilah ketakutanku...
Janganlah sampai niat ini melenceng...
Aku berjuang di dakwah ini karena-Mu, bukan karena Fulanah itu...

Bantu aku mengendalikan diri dan mengembalikan keikhlasanku seperti dulu ya Allah...
Jauhkanku dari perkara mungkar...
Jadikan kumampu menjaga hijab dan menjadi ikhwan sejati...

Bantu ku memantaskan diri menjadi ikhwan yang benar-benar sholeh, agar kupantas mendapatkan jodoh yang sholehah yang Engkau kirimkan untukku...
Karena kuyakin pria baik untuk wanita baik seperti yang Engkau janjikan dalam Qur'an surah An-Nur ayat 26...

Kutahu ini salah ya Allah...
Maka bantulah ku memperbaikinya dan tidak mengulanginya...

Kucinta pada-Mu ya Allah...
Dan jadikanlah kecintaanku pada makhluk adalah karena kecintaanku pada-Mu...
Jangan sampai kecintaanku pada makhluk membuat ku lalai dan jadi melanggar perintah-Mu...
Ampuni aku ya Allah...

:')



~M.T.Q~

selengkapnya...

Hikmah Qur'an Surat Al-Mujadilah Ayat 22

Allah Subhanahu wata'ala berfirman :

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Artinya :

"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung."


Asbabun nuzul ayat ini :

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah (seorang shahabat Rasulullah saw.) yang membunuh bapaknya (dari golongan kafir Quraisy) dalam peperangan Badr. Ayat ini menegaskan bahwa seorang Mukmin akan mencintai Allah melebihi cintanya kepada sanak keluarganya sendiri. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Syaudzab]

Pendapat lain mengatakan bahwa dalam perang Badr, bapak dari Abu 'Ubaidah menyerang dan ingin membunuh Abu 'Ubaidah yang merupakan anaknya itu. Abu 'Ubaidah berusaha menghindarkan dengan jalan menangkis dan mengelakkan segala senjata yang ditujukan kepada dirinya. Tapi Abu 'Ubaidah akhirnya terpaksa membunuh bapaknya. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang melukiskan bahwa cinta seorang Mukmin kepada Allah akan melebihi cintanya kepada orang tuanya. [Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak]

Dalam riwayat lain dikemukakan, ketika Abu Quhafah (ayah Abu Bakr ash-Shiddiq) mencaci maki Rasulullah saw., Abu Bakr lantas memukulnya dengan pukulan yang keras hingga ayahnya itu terjatuh. Kejadian ini sampai kepada Nabi saw., lalu beliau bertanya, "Apakah benar engkau berbuat demikian, hai Abu Bakr?" Ia pun menjawab, "Demi Allah, sekiranya ada pedang di dekatku, pasti aku memukulnya dengan pedang." Lalu turunlah ayat ini berkenaan dengan kejadian tersebut. [Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij]


Hikmahnya :

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat (Mukmin), maka ia tidak akan pernah mau berlemah lembut ataupun berkasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi Allah dan Rasul, sekalipun itu adalah keluarga bahkan orang tua mereka sendiri. Karena mereka tahu, jika mereka berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul, maka mereka juga pasti akan diajak dan dipengaruhi untuk menentang Allah dan Rasul, sedangkan kecintaan mereka amat tinggi kepada Allah dan Rasul.

Sehingga, mereka lebih memilih untuk tegas dan bahkan memperingati dengan keras, atau bahkan memerangi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul tersebut daripada harus berkasih sayang dengan mereka, sekalipun mereka adalah orang terdekatnya.

Lalu benarkah tindakan demikian? Maka Allah menegaskan bahwa balasan dari orang yang berbuat seperti itu adalah pertolongan Allah, surganya Allah, dan mereka termasuk ke dalam golongan Allah yang beruntung dan tidak pernah menyesal atas perbuatannya itu karena mereka mendapat rahmat dari Allah.


~M.T.Q~

selengkapnya...

Kisah Ka'ab bin Malik

PENGANTAR:

Saudaraku, sebelum memulai kisah, ana ingin bertanya pada antum, pernahkah antum mendapatkan iqob (sanksi)? Dan adakah yang pernah mendapatkan iqob berupa peng-off-an sementara dari aktivitas harakah (gerakan) karena kesalahan kita? Jika iya, lalu apa perasaan antum? Marahkah? Sedihkah? Senangkah?

Saudaraku, ana sendiripun pernah terkena iqob berupa di-off-kan sementara dari aktivitas harakah. Dan pada saat itu reaksi ana adalah marah serta tidak terima. Iqob berupa peng-off-an sementara adalah termasuk ke dalam iqob berat, dan ana tidak terima iqob itu dikenakan pada ana oleh Murobbi ana. Karena iqob itu, komunikasi ana dengan beliau sempat tak baik. Ana jadi berpikir iqob macam apa ini yang membuat ana malah jadi menjauh dari aktivitas dakwah? Apa yang dipikirkan Murobbi ana itu? Dan bahkan ana sempat ber-su'udzan kepada Murobbi ana tersebut (Astaghfirullah).

Namun semua berubah drastis ketika suatu masa ana membaca kisah tentang Ka'ab bin Malik. Ana bagai tertampar hingga bangun di tengah lelap. Seperti apakah kisah Ka'ab bin Malik hingga bisa menghapus semua keraguan dan su'udzan ana terhadap iqob yang diberikan? Seperti apakah kisah itu hingga bisa menghapus rasa marah dan kecewa ana kepada sang Murabbi berubah menjadi rasa bersalah dan kagum pada beliau?

Mari bersama kita simak kisahnya dalam catatan ini. Simaklah dengan baik karena hikmahnya amatlah banyak. Semoga Allah meridhai apa yang sedang kita kerjakan.



KISAH KA'AB BIN MALIK :

Ibnu Ishaq menceritakan, "Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri menuturkan kisah dari Abdur Rahman bin Abdullah bin Ka'ab bin Malik, bahwa Abdullah bin Ka'ab bin Malik dan dua shahabatnya menceritakan kisah ketidak-ikutsertaannya bersama Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Ia berkata, "Aku tidak pernah tertinggal dari peperangan yang diikuti Rasulullah saw., kecuali perang Badar."

"Mengenai perang Badar, Allah dan Rasul-Nya tidak mempersalahkan orang yang tidak mengikutinya, karena Rasulullah saw. hanya keluar untuk menghadang kafilah Quraisy. Tetapi dalam peristiwa tersebut Allah berkehendak mempertemukan Rasul-Nya dengan musuh, tanpa ada perjanjian terlebih dahulu. Akan tetapi, aku mengikuti Bai'atul Aqabah bersama Rasulullah saw., saat kami bersumpah setia untuk membela dan memperjuangkan Islam. Aku tidak suka andaikata kedudukan Bai'atul Aqabah diganti dengan perang Badar, meskipun perang Badar lebih dikenang manusia."

Ka'ab menyambung kisahnya dengan mengatakan, " Ketika aku tertinggal dari Rasulullah saw. dalam perang Tabuk, aku berada dalam kondisi kuat dan lebih muda dari sebelumnya. Demi Allah, tidak pernah terkumpul dua kendaraan sekaligus untukku seperti saat menjelang perang Tabuk ini. Biasanya Rasulullah saw. merahasiakan informasi peperangan yang ingin dilakukan. Namun itu tidak dilakukan Rasulullah pada menjelang perang Tabuk.

Peperangan ini terjadi pada musim yang amat panas, perjalanan yang akan ditempuh sangat jauh, dan musuh yang dihadapi banyak jumlahnya. Karena itu, Rasulullah menjelaskan rencananya secara terus terang, dan memberitahukan target sasaran yang hendak dituju kepada umatnya, agar mereka dapat mempersiapkan diri seoptimal mungkin. Jumlah kamu muslimin yang mengikuti Rasulullah saw. amat banyak, tetapi tak tercatat dalam sebuah dokumen. Karenanya, orang-orang yang membelot beranggapan bahwa ketidak-ikutsertaan dalam perang tersebut tidak akan terdeteksi, kecuali bila Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya."

Ka'ab melanjutkan kisahnya, " Rasulullah saw. berangkat perang saat musim buah, udara sejuk, dan pohon-pohon melambai untuk 'merayu' manusia agar bersantai ria dibawah teduhnya. Rasulullah saw. telah berkemas-kemas dan kaum muslimin mengikutinya. Aku pun berniat untuk berkemas dan bergegas pulang. Tetapi sesampai di rumah, aku tak melakukan apa-apa. Bahkan, aku berbisik dalam hati, "Aku mampu melakukan semua itu dengan mudah bila aku mau."

Hal itu terus menerus menggodaku sampai kaum muslimin lainnya bangkit dengan penuh kesungguhan. Keesokan harinya Rasulullah saw. dan kaum muslimin berangkat, sedang aku belum menyiapkan apa-apa. Bahkan aku berkata dalam diriku, "Aku akan bersiap-siap setelah sehari atau dua hari dari keberangkatan Rasul, dan aku akan mampu menyusul mereka."

Ketika Rasulullah dan kaum muslimin telah benar-benar meninggalkan Madinah, aku pulang untuk menyiapkan perbekalan. Tetapi sesampai di rumah, tiada sesuatu pun yang kulakukan. Demikian pula pada hari berikutnya. Hal itu selalu menggodaku hingga kaum muslimin semakin jauh dan peperangan terlewatkan olehku. Saat itu aku bertekad berangkat untuk menyusul mereka. Alangkah beruntung seandainya aku betul-betul melaksanakannya, tetapi hal itu juga tidak kulakukan.

Selepas keberangkatan Rasulullah saw. aku berjalan-jalan mengitari pemukiman penduduk Madinah. Dan alangkah sedihnya hatiku, karena tak seorang pun yang kulihat, kecuali orang-orang yang dikenal kemunafiqannya, atau orang-orang lemah yang diberi kelonggaran oleh Allah untuk tidak mengikuti peperangan.

Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku hingga sampai di Tabuk. Tetapi ketika duduk di hadapan kamu Muslimin di Tabuk, beliau bertanaya kepada mereka, "Apa yang dilakukan Ka'ab bin Malik?" Seorang dari Bani Salamah menjawab, "Ya Rasulullah, ia tertahan oleh selimutnya dan memandangi kedua istrinya." Mu'adz bin Jabal berseru kepada orang tersebut, "Alangkah buruk apa yang engkau ucapkan itu. Demi Allah, ya Rasulullah, kami tidak mengetahui dari dirinya kecuali kebaikan." Kemudian Rasulullah saw. diam.

Ketika kabar kepulangan Rasulullah saw. sampai ke telingaku, kesedihan hadir mengusik jiwaku dan terlintaslah rencana untuk berbohong kepadanya. Aku mulai memikirkan cara yang dapat menghindarkan diri dari kemurkaan Rasulullah saw., dan meminta bantuan orang-orang berpengalaman dari keluargaku untuk menyukseskan rencana busuk itu. Akan tetapi ketika dikabarkan bahwa Rasulullah saw. hampir tiba di Madinah, hilanglah rencana busuk itu dari benakku. Aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan dari kemurkaan beliau, kecuali kejujuran. Maka itu, aku bertekad untuk jujur padanya.

Rasulullah saw. tiba di Madinah pada waktu pagi. Dan biasanya, bila kembali dari suatu perjalanan beliau menuju masjid terlebih dahulu, lalu melakukan shalat dua rakaat, lalu duduk menemui umat. Ketika Rasulullah saw. melakukan hal itu, para pembelot yang jumlahnya delapan puluh lebih hadir untuk menemuinya. Mereka bersumpah dan mengemukakan alasan masing-masing. Rasulullah saw. menerima pernyataan dan sumpah mereka, lantas memohonkan ampun untuk mereka, kemudian menyerahkan apa yang tersimpan dalam hati mereka kepada Allah swt.

Aku juga datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw., akan tetapi beliau tersenyum sinis dan berkata kepadaku, "Kemarilah!" Aku menghampiri dan duduk di hadapannya, lalu beliau bertanya kepadaku, "Apa yang menyebabkanmu tertinggal? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?"

Aku menjawab, "Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di hadapan seseorang selain engkau, tentu aku akan dapat terbebas dari kemarahannya dengan mengutarakan alasan, karena aku dikaruniai kelihaian berdebat. Demi Allah, engkau akan ridha kepadaku sekiranya aku berbohong. Akan tetapi, Allah pasti akan membuat engkau murka kepadaku. Sebaliknya, bila aku mengatakan secara jujur, maka engkau akan murka kepadaku. Meski demikian aku tetap mengharapkan kesudahan yang baik dari Allah. Demi Allah, tidak ada suatu udzur pun untukku saat engkau memerintahkan untuk berperang. Demi Allah, saat tertinggal aku berada dalam kondisi lebih kuat dan lebih muda dari hari-hari sebelumnya."

Mendengar hal itu Rasulullah saw. berkata, "Engkau telah berkata jujur dalam hal ini, maka bangkitlah sampai Allah memberikan keputusan-Nya kepadamu."

Aku pun segera bangkit meninggalkan Rasulullah saw., lalu beberapa orang dari Bani Salamah menyusulku dan berkata kepadaku, "Demi Allah, kami belum pernah mengetahuimu berbuat kesalahan sebelum ini. Sungguh engkau begitu lemah, tidak meminta maaf kepada Rasulullah seperti yang dilakukan oleh para pembelot lainnya. Padahal kesalahanmu itu akan dihapus dengan permintaan ampun oleh Rasulullah saw."

Mereka terus membujukku hingga aku mau kembali ke hadapan Rasulullah untuk membatalkan pernyataan yang telah kuucapkan tadi. Untuk meyakinkan perasaanku, kemudian aku bertanya kepada mereka, "Apakah ada orang lain selain aku, yang mengalami nasib sepertiku?" Mereka menjawab, "Ya, ada dua orang yang berkata seperti yang telah engkau katakan tadi."

Aku bertanya lagi, "Siapa mereka itu?" Mereka menjawab, "Murarah bin Ar-Rabi'ah Al-'Amry dari Bani 'Amr bin 'Auf dan Hilal bin Abi Umayah Al Waqify."

Kedua orang ini adalah orang-orang shalih yang menjadi teladan, maka aku pun terdiam ketika mereka menyebutkan dua nama tersebut. Dan, Rasulullah melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak menyertai beliau. Maka, mereka pun menjauh dan berubah sikap terhadap kami bertiga, hingga rasanya diriku dan bumi ini telah berubah. Seolah bumi yang kupijak ini bukan lagi dunia tempat aku hidup.

Yang menyedihkan lagi, keadaan seperti itu berlangsung sampai lima puluh malam. Selama itu dua sahabat yang senasib denganku berdiam diri di rumah. Sementara aku yang lebih muda dan kuat dari mereka tetap keluar, turut menunaikan shalat bersama kaum Muslimin, dan berkeliling pasar. Namun, yang kudapatkan tak seorangpun mau berbicara denganku. Betapa sedihnya hatiku.

Suatu hari, aku mendatangi Rasulullah saw. saat beliau duduk di majelisnya seusai melakukan shalat. Lantas aku mengucapkan salam kepadanya sambil memperhatikan apakah Rasulullah saw. menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak. Kemudian, aku melakukan shalat dekat sekali dengan beliau, sambil mencuri pandang. Ketika aku mulai mengerjakan shalat ia memandangiku namun ketika aku menoleh ke arahnya beliau segera berpaling.

Aku merasakan betapa lamanya kaum Muslimin memutuskan hubungan denganku, sehingga aku tidak tahan. Hingga akhirnya, aku memanjat pagar rumah sepupuku dan orang yang sangat kucintai, yakni Abu Qatadah. Kemudian aku memberi salam kepadanya, akan tetapi, demi Allah dia tidak menjawab salamku. Maka, aku berkata kepadanya, "Wahai Abu Qatadah, aku bersumpah dengan nama Allah kepadamu. Bukankah aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?" Namun, Abu Qatadah tetap diam membisu. Aku mengulangi ucapanku, akan tetapi ia tetap tidak mau menggerakkan bibirnya. Aku mengulangi ucapanku, dan ia tetap membisu. Ketika kuulangi sekali lagi ucapanku, baru saudaraku itu menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui."

Mendengar jawaban itu tak terasa air mataku bercucuran. Lalu, aku meloncat menaiki pagar dan berjalan menuju pasar. Ketika aku sedang berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada orang asing bertanya tentang diriku pada rombongan orang Syam yang biasa berjualan gandum di Madinah. "Siapa bersedia menunjukkanku kepada Ka'ab bin Malik?", kata orang asing itu. Lalu, orang-orang menunjukkannya kepadaku. Maka, ia menemuiku dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan kepadaku.

Surat itu ditulis sobekan sutera yang bunyinya, "Amma ba'd. Kami mendengar bahwa sahabatmu telah mengucilkan dirimu, padahal Allah tidak menjadikanmu di tempat yang hina dan sia-sia. Karena itu bergabunglah bersama kami, kami akan menolongmu". Maka aku berkata kepada diriku, "Ini juga fitnah." Lalu, aku menuju tungku untuk membakar surat tersebut.

Keadaan seperti itu kami alami sampai empat puluh malam. Tiba-tiba utusan Rasulullah saw. datang kepadaku dengan membawa instruksi baru, "Rasulullah saw. menyuruh agar engkau menjauhi istrimu." Tentu saja aku terkejut dan bertanya kepadanya, "Aku menceraikannya atau bagaimana?" Ia menjawab, "Tidak, tapi jauhilah dan jangan mendekatinya!" Rasulullah saw. juga mengutus utusan kepada dua orang sahabatku dengan perintah yang sama. Maka aku berkata kepada istriku, "Pulanglah ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberikan keputusan apa saja yang Dia kehendaki mengenai masalah ini."

Istri Hilal bin Umayah datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayah sudah tua dan tidak ada yang melayaninya, apakah engkau mengizinkan aku melayaninya?" Rasulullah saw. menjawab, "Boleh, akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu (berhubungan intim)." Istri Hilal berkata, "Demi Allah, ya Rasulullah, dia tidak mempunyai gairah sedikitpun kepadaku. Demi Allah, dia selalu menangis sejak peristiwa itu sampai hari ini, hingga aku khawatir ia akan menjadi buta."

Ka'ab berkata, "Sebagian keluarga berkata kepadaku: 'Mengapa engkau tidak memintakan izin istrimu kepada Rasulullah saw., padahal Rasulullah saw. telah memberikan izin kepada istri Hilal bin Umayah untuk melayaninya." Aku menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memintakan izin untuk isteriku, aku tidak mengerti apa yang akan dikatakan Rasulullah saw. bila aku meminta izin tentang hal ini, karena aku seorang laki-laki yang masih muda."

Keadaan seperti ini kami alami selama sepuluh hari, hingga genaplah lima puluh hari dari sejak Rasulullah melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami.

Pada suatu pagi di hari yang kelima puluh aku melakukan shalat shubuh di rumah, dan keadaan kami persis seperti yang telah disebutkan oleh Allah: bumi yang luas ini terasa sempit bagiku, bahkan aku sendiri merasakan sesak di dadaku. Ketika aku sedang berada di kemah yang kubangun di sebuah perbukitan, aku mendengar suara orang berteriak dengan keras dari balik bukit, "Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah!" Maka aku langsung bersujud, dan aku tahu bahwa jalan keluar telah tiba (Allah telah menerima taubat mereka)."

Dan, memang benar bahwa Rasulullah saw. mengumumkan penerimaan taubat ketiga orang yang telah tertinggal dari perang Tabuk ini, setelah shalat shubuh. Orang-orang pun ramai mendatangiku memberikan kabar gembira itu. Demikian juga yang terjadi pada kedua sahabat yang senasib denganku, mereka didatangi para sahabat lainnya.

Selepas shubuh, tampak seorang laki-laki menaiki kudanya, lalu melesat menuju tempat tinggalku. Tak cuma itu, dari arah lain juga tampak seorang dari Aslam berupaya mencapai perbukitan, sambil meneriakkan kabar gembira untukku itu. Suaranya melengking hingga lebih cepat sampai ke telingaku, ketimbang orangnya.

Ketika pemilik suara yang membawa kabar gembira sampai kepadaku, kabar gembira sampai kepadaku, aku langsung melepaskan dua pakaianku dan memakaikannya apda orang tersebut. Padahal, saat itu aku tidak memiliki pakaian selain dua lembar itu. Maka itu, aku terpaksa meminjam dua pakaian kepada keluargaku untuk kukenakan, lalu berangkat menuju Rasulullah saw. Sesampai di tempat yang kutuju, orang-orang menyambutku dengan memberi berita gembira yang mengharukan itu. Mereka berkata, "Selamat atas diterimanya taubat Anda oleh Allah."

Tak mau menyia-nyiakan waktu, begitu sampai, aku segera masuk masjid untuk menemui Rasulullah. saat itu Rasulullah saw. tampak sedang duduk di tengah-tengah para sahabat, tiba-tiba Thalhah bin 'Ubaidillah berdiri untuk memberi salam dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun dari kalangan muhajirin yang berdiri kecuali Thalhah. Itu sebabnya, saya tidak pernah melupakan Thalhah dengan peristiwa tersebut."

Ka'ab meneruskan kisahnya, "Ketika aku memberi salam kepada Rasulullah saw. beliau mengatakan kepadaku dengan wajah berseri-seri, "Bergembiralah dengan hari terbaik sejak engkau dilahirkan oleh ibumu." Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apakah berita gembira hari ini darimu atau dari Allah, wahai Rasulullah?"

"Dari Allah.", jawab Rasulullah saw. dengan wajah yang berseri-seri bak sekeping bulan, lantaran merasa bergembira. Ketika aku duduk di hadapan Rasulullah saw. aku berikrar, "Ya Rasulullah, sebagai bukti taubatku kepada Allah, maka aku lepaskan seluruh hartaku sebagai shadaqah untuk Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah saw. pun menjawab, "Tahanlah sebagian hartamu, dan itu lebih baik bagimu."

Aku berkata, "Aku akan menahan bagianku yang ada di Khaibar, ya Rasulullah." Lalu aku meneruskan ikrarku, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku sebab kejujuran. Dan sebagai bukti taubatku kepada Allah, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur sepanjang hayatku."

Ka'ab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun yang diuji oleh Allah karena kejujurannya, semenjak aku berlaku jujur pada Rasulullah saw. Demi Allah, sejak peristiwa itu hingga hari ini, aku tidak punya niat untuk berdusta sedikit pun. Aku berharap, semoga Allah senantiasa menjagaku pada sisa-sisa umurku."

Berkenaan dengan peristiwa itu, Allah menurunkan wahyu-Nya,

"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (At-Taubah : 117-119)

Ka'ab berkata, "Demi Allah, tidak ada satu pun nikmat yang diberikan Allah kepadaku sejak aku mendapat hidayah yang lebih besar dan berkesan dalam jiwaku dibanding kejujuranku kepada Rasulullah saw. Andaikan saat itu aku berdusta, maka pasti akan binasa seperti mereka yang telah berdusta. Allah swt. berfirman tentang mereka yang berdusta dengan kata yang amat pedas,

"Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu." (At-Taubah : 95-96)

Ka'ab berkata, "Kami bertiga diselamatkan dari urusan mereka yang alasan diterima dan dimohonkan ampunan oleh Rasulullah saw. karena bersumpah. Rasulullah saw. menangguhkan urusan kami, sehingga Allah memberi keputusan tentangnya. Dalam firman-Nya Allah menjelaskan,

"dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (At-Taubah : 118)

Jadi, penangguhan yang disebutkan oleh Allah itu tidak disebabkan oleh pembelotan kami dari peperangan, tetapi semata-mata karena ditangguhkan dari perbuatan orang-orang yang gemar beralasan dan bersumpah di hadapan Rasulullah, hingga beliau menerima alasan mereka."


HIKMAH DARI KISAH DIATAS :

* Ka'ab menyadari bahwa yang ia lakukan adalah kesalahan dan patut untuknya sebuah hukuman
* Kejujuran itu amatlah penting
* Iqob berupa peng-off-an sementara merupakan metode Rasulullah saw. untuk mendidik sahabatnya yang membuat kesalahan fatal, dan itu beliau terapkan serta terbukti berhasil
* Ketabahan Ka'ab bin Malik dalam menjalani iqob tersebut karena kecintaannya pada Allah saw. dan Rasulullah saw.
* Ketaatan kaum muslimin dalam mentaati instruksi Rasulullah saw. untuk tidak berbicara dengan Ka'ab menunjukkan kekompakan umat Islam pada saat itu
* Ketika taubat Ka'ab diterima, lantas ia bersungguh-sungguh untuk benar-benar membuktikan bahwa dirinya telah berubah dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi


Diambil dari buku "Yang Berjatuhan di Jalan Dakwah" karya asy-Syaikh Fathi Yakan, terbitan Al-I'tishom-Jakarta Timur.

~M.T.Q~

selengkapnya...