Oleh : Mahib ats-Tsaqib al-Qeis
Pada : 21 September 2010/13 Syawal 1431 H
Terinspirasi dari hikmah sebuah kejadian nyata yang ana alami.
Bismillahilladzi anzalal qur’an, hudallinnas wal bayyinat minal huda wal furqoon. Asyhaduallaa ilahailallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, laa nabiyya ba’da. Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi ajma’in.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Ya ayyuhal ikhwah, kaifa haluk?
Alhamdulillah ana masih diberi kesempatan oleh Allah melalui tulisan ini untuk berbagi dengan antum sekalian. Sungguh indah rasanya saling menasihati dan saling berbagi, semoga semua ini dinilai ibadah oleh Allah, dan merupakan bentuk kepedulian kita dan ikhtiar menegakkan dakwah ilallah.
Beberapa waktu yang lalu ana baru saja usai melakukan safar kembali ke kota tempat ana menuntut ilmu. Hari pertama setelah kurang lebih 2 bulan ana di kota tempat ana dibesarkan sekaligus kota perjuangan ana menegakkan kalimatullah terasa cukup dahsyat. Ada semacam “perploncoan” yang diberikan Allah kepada ana, yah yang pasti karena Allah sayang dan tak ingin ana kembali menjadi manja setelah cukup lama tinggal bersama orang tua ana lagi. Mungkin Allah kembali ingin menyadarkan ana bahwa kini ana ada di rantau orang, tidak boleh lemah dan harus mandiri. Lalu Allah-pun memberi ana cobaan agar ana kembali terbiasa dengan kehidupan rantau. Ya, cobaan ringan yang penuh hikmah, yaitu kendaraan ana (sepeda motor Tiger 2000) dimogokkan Allah.
Hmm…, mungkin antum sedikit agak bingung, kenapa ana malah jadi curhat colongan seperti ini. Tapi jangan heran dulu, karena justru dari kejadian inilah ana bisa memetik hikmahnya dan menulis tulisan ini. Ya, pada malam hari ketika ana sampai di kota pelajar, ana langsung mencoba menghidupkan motor yang telah ana tinggalkan sekitar kurang lebih 2 bulan itu. Sesuai firasat ana, setelah berkali-kali bongkar busi, dorong sana-sini sampai ngos-ngosan ditemani teman ana, engkol sampai kaki ana bengkak karena mungkin sudah ratusan kali, tapi Allah tak jua mengizinkan mesin motor itu hidup. Akhirnya setelah lelah berikhtiar, sekitar jam 10 malam ana dan teman ana itu pasrah juga dengan ketetapan Allah. Anapun beristirahat menyiapkan tenaga untuk hari esok karena ana berencana akan membawa motor itu ke bengkel terdekat yang berjarak sekitar 1 KM dengan jalan yang menanjak. Hhh… ujiannya adalah, satu-satunya cara membawanya dengan cara mendorong motor seberat itu seorang diri, karena ana memang tinggal sendiri, dan teman-teman ana tak ada yang berdekatan tinggal dengan ana.
Esoknya, usai shalat shubuh, ana bersiap-siap dan mulai keluar rumah sambil mendorong motor. Dengan mengucap tasmiyah dan do’a, ana mulai beranjak menuju bengkel dengan berjalan kaki sambil kedua tangan memegang stang motor (karena ana sedang mendorong motor… hehe). Baru sekitar 100 meter ana meninggalkan rumah, ada seorang bapak yang menaiki motor menghampiri ana dan menanyakan ada apa dengan motor ana. Yah, ana katakan mogok dan ingin membawanya ke bengkel. Subhanallah, bapak itu langsung menawarkan diri menolong ana dengan mendorongkan motor ana menggunakan motornya. Setelah sempat menolak, akhirnya ana terima juga uluran tangan beliau karena jujur dalam hati ana sangat senang dengan kebaikan hati beliau. Beliaupun mendorong motor ana dengan motornya, sedang ana hanya naik saja diatas motor ana. Sepanjang jalan ana tak henti bersyukur atas pertolongan dari Allah yang datangnya sungguh tak ana duga-duga. Ketika ana menanyakan kepada beliau, ”Apa nggak ngerepotin bapak nih?”, beliau justru menjawab, “Wah, nyantai wae Mas, nolong orang itu pahala. Yaah, saya harap suatu ketika nanti kalau Mas ngelihat orang lain kesusahan, Mas mau nolongin dia juga.”
Subhanallah, kata-kata bapak itu sungguh seakan menampar satu sisi kesadaran ana yang selama ini hanya setengah sadar. Ana teringat akan firman Allah :
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (QS. Al-Zalzalah : 7-8)
Ya, ketika kita melakukan sebuah kebaikan, tentu kita akan mendapat kebaikan, dan kita harus menebus kebaikan itu dengan berbuat baik lagi, agar kita kembali mendapatkan balasan berupa kebaikan dari Allah. Namun begitu pula sebaiknya, jika kita berbuat keburukan, maka balasan berupa keburukanpun akan datang kepada kita. Maka jangan salahkan Allah jika kita mendapat kesialan, tapi instropeksilah diri sendiri, karena siapa tahu justru kita sendiri yang mengundang kesialan itu dengan keburukan ataupun maksiat yang kita lakukan.
Ya, ini hikmah pertama yang ana dapatkan hari itu, dan bersabarlah pembaca yang budiman, sungguh hikmah itu ada kaitannya dengan judul kita pada kesempatan ini. Tapi ana ingin antum sebelumnya memahami kondisinya melalui kejadian yang ana alami agar kita sama-sama mengerti apa yang akan kita kaji pada tulisan ini.
Sesampainya ana di bengkel (atas pertolongan Allah), anapun segera menyerahkan “si macan” pada ahlinya. Lalu anapun duduk menunggu di ruang tunggu. Di dekat ana ada seorang bapak yang sedang asyik merokok sambil menenggak segelas sirup. Ia menunggu motornya yang juga sedang “dioperasi” di bengkel itu. Tiba-tiba bapak itu menegur ana dan lalu kamipun larut dalam obrolan. Melalui obrolan yang kami lakukan, terkuaklah bahwa ia seorang bos sebuah perusahaan penerbit yang menyuplai terbitannya keseluruh Indonesia. Ia-pun menawarkan kepada ana apakah ada teman ana atau ana sendiri yang hobi menulis, punya naskah, lalu ingin menerbitkan buku, maka ia bersedia menerbitkan dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya yang nantinya akan dibahas lebih lanjut. Lalu ana mengutarakan ketertarikan ana pada dunia tulis menulis, tapi belum sekelas menulis sebuah buku. Ia-pun membagi pengalaman pada ana bahwa menulis adalah kegiatan asyik yang bisa dilakukan sambilan, apalagi bagi seorang pelajar, dapat menghasilkan, dan banyak manfaat lainnya. Ia juga memberi semacam semangat bagi ana untuk menekuni dunia tulis menulis.
Ana cukup tertarik mendengar tuturan beliau, tapi lagi-lagi ana harus tetap mempertahankan daya kritis ana. Ana tak boleh serta merta menelan semua yang dikatakan orang. Anapun coba memancing pembicaraan untuk menjawab keingintahuan ana akan minat masyarakat Indonesia akan dakwah Islam melalui media tulisan. “Ehm Pak, memang buku yang mengulas apa sih biasanya laku di pasaran?”, pancing ana. Bapak itu menjawab, “Wah Mas, kalau mau bikin buku itu yang paling laku di pasarannya cepet itu yang berbau-bau seks.”, lalu ia menyebutkan beberapa judul buku vulgar yang pernah edar di pasaran. “Tapi jangan terlalu buka-bukaan juga Mas, nanti nggak bisa masuk toko buku besar.”, lanjutnya. “Astaghfirullah…”, gumam ana dalam hati. “Ooo… lalu Pak, kalau buku yang paling susah laku di pasaran? Yang peminatnya sedikit itu buku yang membahas tentang apa pak?”, pancing ana lagi. Dengan sedikit menghela nafas bapak itu menjawab singkat, “Yahh… buku agama.”, Astaghfirullahal’adziim… Na’udzubillahimindzaligh…
Sungguh retak hati ana rasanya. Inilah fenomena masa kini, dimana orang-orang sudah meninggalkan agamanya karena mengejar dunia. Indonesia yang mayoritas masyarakat beragama Islam, tentu logikanya buku agama yang paling banyak dicetak, diterbitkan, dan dipasarkan adalah buku-buku yang membahas tentang agama Islam. Apakah begitu acuhnya muslim sekarang dengan Islam itu sendiri? Mungkin antum berpendapat bahwa mungkin ada banyak faktor yang menyebabkan orang Islam tidak membeli buku-buku Islam. Faktor ekonomi mungkin? Kalau jawabannya ya, lalu mengapa banyak orang yang mampu membeli buku berbau seks?
Memang butuh survey dan penelitian untuk mengetahui segmentasi konsumen buku berdasarkan klasifikasinya. Tapi secara logika yang lugu saja, ana yakin bisa menebak bahwa orang Islampun banyak yang menjadi konsumen buku-buku seks sedangkan mereka sangat jarang membaca buku-buku agama. Dibelipun buku agama, tak juga dibaca. Hanya jadi pajangan pemenuh rak didalam rumah. Na’udzubillah.
Apa solusi menghadapi masyarakat yang sudah semakin jahiliyyah seperti masa sekarang ini?
Ya, ana tawarkan Transformasi Dakwah.
Di era modern seperti sekarang ini perlu ada suatu terobosan baru dalam mempertahankan eksistensi dakwah dikalangan ummat. Dakwah adalah strategi, karena dakwah adalah suatu kesengajaan (artinya sesuatu yang memang sengaja diperbuat), sehingga perlu manajemen atau pengaturan guna kelancaran operasionalnya. Memang setiap zaman punya tantangan tersendiri, dan di era globalisasi seperti ini cukup sulit menarik simpati massa dengan teknik dan strategi yang masih sama seperti para pendahulu. Disinilah terobosan itu perlu, dan terobosan itu sendirilah yang diberi istilah transformasi dakwah atau perubahan gaya dalam menyampaikan dakwah.
Kita dapat memperhatikan bagaimana cara para Rasul dalam berdakwah. Jika antum membuka surat Asy-Syuara, antum akan menemukan kisah para Rasul, salah satunya yakni Musa a.s. Perhatikan mukzizat apa yang diberikan Allah pada beliau a.s. Ya, tongkat yang bisa berubah menjadi ular besar, seolah itu adalah sihir yang beliau a.s. lakukan. Mengapa harus mukzizat semacam itu yang diberikan Allah? Jawabannya adalah karena pada masa itu, sesuatu yang dianggap hebat adalah apabila seseorang mempunyai ilmu sihir yang sangat hebat. Walhasil, para penyihir Fir’aun laknatullah takjub dan mengaku beriman pada Musa a.s. dan Tuhannya yakni Allah SWT.
Perhatikan juga para wali yang sembilan. Mereka menggunakan media-media seperti wayang dan tembang yang sangat melekat dalam adat istiadat Jawa. Mengapa harus seperti itu? Tentu agar masyarakat lebih mudah menerima apa yang mereka sampaikan. Karena sesungguhnya dakwah itu pasti akan menentang adat dan tradisi masyarakat selama ini yang menyimpang dari Islam. Jika hal itu dilakukan dengan ekstrim, tentu akan memancing reaksi penolakan dan dakwah kita tidak akan pernah berhasil. Tapi jika dakwah itu dilakukan dengan perlahan dan menyusup di tengah hal yang bisa diterima masyarakat, maka objek dakwah kita itu akan dengan mudah menerima maksud-maksud dakwah yang kita sampaikan. Jika antum seorang pendakwah, insyaallah akan faham tentang metodologi dakwah yang ana maksudkan ini, yaitu dakwah kepada awam dengan hikmah (Dakwah bil-Hikmah) karena dakwah itu bukan doktrin.
Sebagaimana firman Allah SWT :
“Serulah kepada jalan Tuhan engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl : 125).
Maka itu di masa sekarang inipun kita perlu melakukan strategi sama seperti yang dilakukan Nabi Musa a.s. dan para wali yang sembilan. Jika kita perhatikan, masyarakat sekarang menginginkan sesuatu yang serba praktis, mudah, ketergantungan terhadap teknologi yang tinggi, dan jauh lebih menerima sesuatu yang global dan logis. Hal ini sudah coba ditembus oleh para da’i-da’i kontemporer dengan mengubah cara penyampaian dakwah menjadi lebih elegan dan terkesan global. Sebut saja sang motivator ulung yang selalu menghiasi layar kaca dengan dandanannya yang necis, Mario Teguh. Ana cukup sering mendengar kajiannya yang diberi nama kajian “Golden Ways”. Ana rasa apa yang beliau sampaikan semua adalah nilai-nilai islam dan aplikasi Qur’an dan sunnah. Sebut saja kutipannya yang mengatakan bahwa masalah itu hanya sementara :
”Tuhan Yang Maha Perkasa menjamin bahwa tidak ada orang yang akan dimasukkan ke dalam masalah yang tidak bisa diatasinya. Sehingga, masalah apa pun yang kita masuki, adalah masalah yang telah ditetapkan berada di bawah kemampuan kita.” - Mario Teguh
Ya, kutipan diatas sangat linear dengan firman Allah :
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al-Insyirah : 5-6)
Dan juga semaksud dengan hadits Rasulullah saw. :
Seorang mukmin meskipun dia masuk ke dalam lobang biawak, Allah akan menentukan baginya orang yang mengganggunya. (HR. Al Bazzaar)
Ya, itulah sepak terjang salah seorang da’i kontemporer masa kini yang mencoba berdakwah dengan melakukan transformasi dakwah. Bagaimana tidak? Beliau tidak pernah mengumbar bahwa ia seorang muslim, dan baru terkuak ketika Metro TV menyiarkan acara Mario Teguh pada Minggu 19 Juli 2009 yang topiknya seputar ibadah Umrah yang dipandunya. Terlihat Mario teguh sedang berada di Madinah sambil mengenakan pakaian berhaji dan bertasbih. Ya, beliau bukan seperti habib-habib yang bergamis dan bersorban lalu senantiasa memakai istilah-istilah arab dalam ceramahnya. Perhatikan Mario Teguh yang selalu memakai kata “Tuhan” untuk mengganti kata “Allah”, tentu ada tujuan tertentu, yakni agar penyampaiannya bisa diterima semua golongan, tak terbatas hanya orang Islam saja.
Bukan berarti ana mengatakan bergamis, bersorban, dan memakai istilah arab itu salah, namun dalam kasus ini transformasi itulah yang digunakan Mario Teguh agar dakwahnya bisa diterima masyarakat. Beliau selalu berpenampilan modern, berjas dan berdasi, sehingga dengan dandanan yang universal itu diharapkan pendengarnyapun universal, artinya objek dakwahnya lebih luas dan lebih banyak yang bisa ia dakwahi.
Kita lihat juga da’i kontemporer lainnya seperti Ary Ginanjar. Sang pimpinan sebuah terapi kejiwaan yang sangat terkemuka saat ini, yakni ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Ya, ESQ pada dasarnya adalah penerapan nilai Islam yang dicontohkan Rasulullah saw. yakni mutaba’ah (evaluasi) diri dan muhassabah (instropeksi) diri. Banyak yang beliau sampaikan melalui kata-katanya adalah ajakan mengenal diri, akhlaq terhadap orang tua, berkarir yang sesuai adab, dan kesemuanya itu adalah adopsi nilai Islam yang disampaikan dengan modifikasi bahasa agar bisa diterima oleh masyarakat luas. Walhasil, ESQ sudah menelurkan beribu-ribu alumni, dan tentu saja pasti ada diantara sekian ribu itu yang kemudian meresap kedalam hatinya, dan ia berubah kearah kebaikan. Inikan dakwah namanya!
Itulah contoh transformasi dakwah yang dilakukan oleh kedua tokoh besar yakni Mario Teguh dan Ary Ginanjar. Kembali ke kisah ana tadi, sadarkah antum bahwa antum juga bisa melakukan transformasi dakwah. Ingat bapak yang menolong mendorongkan motor ana tadi, terlepas dari siapa beliau dan apa latar belakang beliau, seandainya beliau meniatkan menolong ana karena Allah dan juga kata-katanya tadi memang karena Allah, maka beliau sudah mendakwahi ana. Bayangkan jika suatu saat ana menolong orang lain yang kesusahan karena terpengaruh kata-kata beliau diatas, maka beliau juga mendapatkan pahala. Itulah MLM versi Allah SWT dan itulah dakwah, yakni amar ma’ruf nahi munkar atau menyuruh kepada kebajikan dan mencegah dari yang mungkar. Bukankah bapak tadi telah mengajak ana berbuat bajik dan beliaupun telah menyontohkannya terlebih dahulu kepada ana secara langsung. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip at-Tarbiyatu bil qudwah atau pendidikan dengan teladan.
Lalu mengapa perlu transformasi dakwah? Kembali ke kisah ana tadi ketika berjumpa dengan bos penerbit. Dari percakapan ana dengan beliau tampaklah bahwa masyarakat sekarang sudah keburu ngantuk membaca judul-judul buku yang terang-terangan menunjukkan klasifikasi bahwa buku itu adalah buku agama. Demikian juga malasnya masyarakat mendengar ceramah yang terang-terangan menunjukkan itu adalah ceramah agama. Hitung saja berapa orang yang sanggup mendengarkan khutbah jum’at dari awal hingga akhir. Cara-cara dakwah seperti itu hanya efektif di kalangan terbatas yang notabene merekapun telah tersentuh dakwah sebelumnya. Maka itu, bagaimana caranya kita mendakwahi adik-adik kita yang masih sekolah? Bagaimana caranya kita mendakwahi mbok-mbok di pasar pagi? Bagaimana cara kita mendakwahi kalangan businessman? Atau bahkan bagaimana cara kita menyampaikan dakwah ke kalangan atheis sekalipun? Semua tak bisa dengan cara yang sama. Perlu strategi dan tingkat kreatifitas yang tinggi untuk melakukan transformasi yang tepat agar dakwah lebih mudah diterima.
Sebagaimana arrangement itu dilakukan oleh Mario Teguh dan Ary Ginanjar. Beliau mentransformasi metode dakwah bil-lisan dengan training motivasi dan ESQ. Nah, begitupun kita. Jika berdasarkan kisah ana tadi menunjukkan memang banyak masyarakat yang kurang berminat dengan buku-buku agama, maka apa salahnya kita transformasikan juga dakwah bit-tadwin kita dengan menulis tulisan yang terkesan umum, padahal ia mengajarkan aplikasi nilai-nilai Islam. Atau melakukan dakwah bil-hikmah seperti cara bapak yang menolong mendorongkan motor ana tadi. Menyelipkan nilai-nilai kebaikan dengan melakukan interaksi positif. Dan begitu juga dengan metode-metode dakwah lainnya. Demikian itu adalah tuntutan bagi seorang du'at untuk meluluhkan hati mad'u-nya. Karena dakwah itu mengajak, bukan menghakimi. Dakwah itu damai, bukan anarkis. Dakwah itu seruan mulia, bukan ancaman teror.
Ikhwafillah, bagaimana dengan antum? Dakwah seperti apa yang sudah antum perjuangkan? Transformasi seperti apa yang sudah antum lakukan? Semoga Allah memberi kelancaran dalam kita memperjuangkan dakwah ini, dan juga ke-istiqomah-an pada kita dalam memperjuangkannya.
Demikian yang dapat ana berikan dalam tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat dan bernilai ibadah. Silakan buang yang salahnya dan ambil yang benarnya serta amalkan, sehingga kita dapat mempertanggungjawabkan waktu yang kita habiskan untuk membaca tulisan ini di hadapan Allah kelak.
Syukron katsiron.
Subhanakallahumma wabihamdik, asyhaduallaa ilaahailla anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik. Walhamdulillah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar