Mohon Maaf Kepada Seluruh Pembaca, Karena Kesibukan Admin Blog Ini Jadi Jarang Update. Insyaallah Kedepannya Akan Lebih Sering Update Demi Kelangsungan Dakwah.
________________

Minggu, 13 Februari 2011

Kisah Ka'ab bin Malik

PENGANTAR:

Saudaraku, sebelum memulai kisah, ana ingin bertanya pada antum, pernahkah antum mendapatkan iqob (sanksi)? Dan adakah yang pernah mendapatkan iqob berupa peng-off-an sementara dari aktivitas harakah (gerakan) karena kesalahan kita? Jika iya, lalu apa perasaan antum? Marahkah? Sedihkah? Senangkah?

Saudaraku, ana sendiripun pernah terkena iqob berupa di-off-kan sementara dari aktivitas harakah. Dan pada saat itu reaksi ana adalah marah serta tidak terima. Iqob berupa peng-off-an sementara adalah termasuk ke dalam iqob berat, dan ana tidak terima iqob itu dikenakan pada ana oleh Murobbi ana. Karena iqob itu, komunikasi ana dengan beliau sempat tak baik. Ana jadi berpikir iqob macam apa ini yang membuat ana malah jadi menjauh dari aktivitas dakwah? Apa yang dipikirkan Murobbi ana itu? Dan bahkan ana sempat ber-su'udzan kepada Murobbi ana tersebut (Astaghfirullah).

Namun semua berubah drastis ketika suatu masa ana membaca kisah tentang Ka'ab bin Malik. Ana bagai tertampar hingga bangun di tengah lelap. Seperti apakah kisah Ka'ab bin Malik hingga bisa menghapus semua keraguan dan su'udzan ana terhadap iqob yang diberikan? Seperti apakah kisah itu hingga bisa menghapus rasa marah dan kecewa ana kepada sang Murabbi berubah menjadi rasa bersalah dan kagum pada beliau?

Mari bersama kita simak kisahnya dalam catatan ini. Simaklah dengan baik karena hikmahnya amatlah banyak. Semoga Allah meridhai apa yang sedang kita kerjakan.



KISAH KA'AB BIN MALIK :

Ibnu Ishaq menceritakan, "Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri menuturkan kisah dari Abdur Rahman bin Abdullah bin Ka'ab bin Malik, bahwa Abdullah bin Ka'ab bin Malik dan dua shahabatnya menceritakan kisah ketidak-ikutsertaannya bersama Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Ia berkata, "Aku tidak pernah tertinggal dari peperangan yang diikuti Rasulullah saw., kecuali perang Badar."

"Mengenai perang Badar, Allah dan Rasul-Nya tidak mempersalahkan orang yang tidak mengikutinya, karena Rasulullah saw. hanya keluar untuk menghadang kafilah Quraisy. Tetapi dalam peristiwa tersebut Allah berkehendak mempertemukan Rasul-Nya dengan musuh, tanpa ada perjanjian terlebih dahulu. Akan tetapi, aku mengikuti Bai'atul Aqabah bersama Rasulullah saw., saat kami bersumpah setia untuk membela dan memperjuangkan Islam. Aku tidak suka andaikata kedudukan Bai'atul Aqabah diganti dengan perang Badar, meskipun perang Badar lebih dikenang manusia."

Ka'ab menyambung kisahnya dengan mengatakan, " Ketika aku tertinggal dari Rasulullah saw. dalam perang Tabuk, aku berada dalam kondisi kuat dan lebih muda dari sebelumnya. Demi Allah, tidak pernah terkumpul dua kendaraan sekaligus untukku seperti saat menjelang perang Tabuk ini. Biasanya Rasulullah saw. merahasiakan informasi peperangan yang ingin dilakukan. Namun itu tidak dilakukan Rasulullah pada menjelang perang Tabuk.

Peperangan ini terjadi pada musim yang amat panas, perjalanan yang akan ditempuh sangat jauh, dan musuh yang dihadapi banyak jumlahnya. Karena itu, Rasulullah menjelaskan rencananya secara terus terang, dan memberitahukan target sasaran yang hendak dituju kepada umatnya, agar mereka dapat mempersiapkan diri seoptimal mungkin. Jumlah kamu muslimin yang mengikuti Rasulullah saw. amat banyak, tetapi tak tercatat dalam sebuah dokumen. Karenanya, orang-orang yang membelot beranggapan bahwa ketidak-ikutsertaan dalam perang tersebut tidak akan terdeteksi, kecuali bila Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya."

Ka'ab melanjutkan kisahnya, " Rasulullah saw. berangkat perang saat musim buah, udara sejuk, dan pohon-pohon melambai untuk 'merayu' manusia agar bersantai ria dibawah teduhnya. Rasulullah saw. telah berkemas-kemas dan kaum muslimin mengikutinya. Aku pun berniat untuk berkemas dan bergegas pulang. Tetapi sesampai di rumah, aku tak melakukan apa-apa. Bahkan, aku berbisik dalam hati, "Aku mampu melakukan semua itu dengan mudah bila aku mau."

Hal itu terus menerus menggodaku sampai kaum muslimin lainnya bangkit dengan penuh kesungguhan. Keesokan harinya Rasulullah saw. dan kaum muslimin berangkat, sedang aku belum menyiapkan apa-apa. Bahkan aku berkata dalam diriku, "Aku akan bersiap-siap setelah sehari atau dua hari dari keberangkatan Rasul, dan aku akan mampu menyusul mereka."

Ketika Rasulullah dan kaum muslimin telah benar-benar meninggalkan Madinah, aku pulang untuk menyiapkan perbekalan. Tetapi sesampai di rumah, tiada sesuatu pun yang kulakukan. Demikian pula pada hari berikutnya. Hal itu selalu menggodaku hingga kaum muslimin semakin jauh dan peperangan terlewatkan olehku. Saat itu aku bertekad berangkat untuk menyusul mereka. Alangkah beruntung seandainya aku betul-betul melaksanakannya, tetapi hal itu juga tidak kulakukan.

Selepas keberangkatan Rasulullah saw. aku berjalan-jalan mengitari pemukiman penduduk Madinah. Dan alangkah sedihnya hatiku, karena tak seorang pun yang kulihat, kecuali orang-orang yang dikenal kemunafiqannya, atau orang-orang lemah yang diberi kelonggaran oleh Allah untuk tidak mengikuti peperangan.

Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku hingga sampai di Tabuk. Tetapi ketika duduk di hadapan kamu Muslimin di Tabuk, beliau bertanaya kepada mereka, "Apa yang dilakukan Ka'ab bin Malik?" Seorang dari Bani Salamah menjawab, "Ya Rasulullah, ia tertahan oleh selimutnya dan memandangi kedua istrinya." Mu'adz bin Jabal berseru kepada orang tersebut, "Alangkah buruk apa yang engkau ucapkan itu. Demi Allah, ya Rasulullah, kami tidak mengetahui dari dirinya kecuali kebaikan." Kemudian Rasulullah saw. diam.

Ketika kabar kepulangan Rasulullah saw. sampai ke telingaku, kesedihan hadir mengusik jiwaku dan terlintaslah rencana untuk berbohong kepadanya. Aku mulai memikirkan cara yang dapat menghindarkan diri dari kemurkaan Rasulullah saw., dan meminta bantuan orang-orang berpengalaman dari keluargaku untuk menyukseskan rencana busuk itu. Akan tetapi ketika dikabarkan bahwa Rasulullah saw. hampir tiba di Madinah, hilanglah rencana busuk itu dari benakku. Aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan dari kemurkaan beliau, kecuali kejujuran. Maka itu, aku bertekad untuk jujur padanya.

Rasulullah saw. tiba di Madinah pada waktu pagi. Dan biasanya, bila kembali dari suatu perjalanan beliau menuju masjid terlebih dahulu, lalu melakukan shalat dua rakaat, lalu duduk menemui umat. Ketika Rasulullah saw. melakukan hal itu, para pembelot yang jumlahnya delapan puluh lebih hadir untuk menemuinya. Mereka bersumpah dan mengemukakan alasan masing-masing. Rasulullah saw. menerima pernyataan dan sumpah mereka, lantas memohonkan ampun untuk mereka, kemudian menyerahkan apa yang tersimpan dalam hati mereka kepada Allah swt.

Aku juga datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw., akan tetapi beliau tersenyum sinis dan berkata kepadaku, "Kemarilah!" Aku menghampiri dan duduk di hadapannya, lalu beliau bertanya kepadaku, "Apa yang menyebabkanmu tertinggal? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?"

Aku menjawab, "Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di hadapan seseorang selain engkau, tentu aku akan dapat terbebas dari kemarahannya dengan mengutarakan alasan, karena aku dikaruniai kelihaian berdebat. Demi Allah, engkau akan ridha kepadaku sekiranya aku berbohong. Akan tetapi, Allah pasti akan membuat engkau murka kepadaku. Sebaliknya, bila aku mengatakan secara jujur, maka engkau akan murka kepadaku. Meski demikian aku tetap mengharapkan kesudahan yang baik dari Allah. Demi Allah, tidak ada suatu udzur pun untukku saat engkau memerintahkan untuk berperang. Demi Allah, saat tertinggal aku berada dalam kondisi lebih kuat dan lebih muda dari hari-hari sebelumnya."

Mendengar hal itu Rasulullah saw. berkata, "Engkau telah berkata jujur dalam hal ini, maka bangkitlah sampai Allah memberikan keputusan-Nya kepadamu."

Aku pun segera bangkit meninggalkan Rasulullah saw., lalu beberapa orang dari Bani Salamah menyusulku dan berkata kepadaku, "Demi Allah, kami belum pernah mengetahuimu berbuat kesalahan sebelum ini. Sungguh engkau begitu lemah, tidak meminta maaf kepada Rasulullah seperti yang dilakukan oleh para pembelot lainnya. Padahal kesalahanmu itu akan dihapus dengan permintaan ampun oleh Rasulullah saw."

Mereka terus membujukku hingga aku mau kembali ke hadapan Rasulullah untuk membatalkan pernyataan yang telah kuucapkan tadi. Untuk meyakinkan perasaanku, kemudian aku bertanya kepada mereka, "Apakah ada orang lain selain aku, yang mengalami nasib sepertiku?" Mereka menjawab, "Ya, ada dua orang yang berkata seperti yang telah engkau katakan tadi."

Aku bertanya lagi, "Siapa mereka itu?" Mereka menjawab, "Murarah bin Ar-Rabi'ah Al-'Amry dari Bani 'Amr bin 'Auf dan Hilal bin Abi Umayah Al Waqify."

Kedua orang ini adalah orang-orang shalih yang menjadi teladan, maka aku pun terdiam ketika mereka menyebutkan dua nama tersebut. Dan, Rasulullah melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak menyertai beliau. Maka, mereka pun menjauh dan berubah sikap terhadap kami bertiga, hingga rasanya diriku dan bumi ini telah berubah. Seolah bumi yang kupijak ini bukan lagi dunia tempat aku hidup.

Yang menyedihkan lagi, keadaan seperti itu berlangsung sampai lima puluh malam. Selama itu dua sahabat yang senasib denganku berdiam diri di rumah. Sementara aku yang lebih muda dan kuat dari mereka tetap keluar, turut menunaikan shalat bersama kaum Muslimin, dan berkeliling pasar. Namun, yang kudapatkan tak seorangpun mau berbicara denganku. Betapa sedihnya hatiku.

Suatu hari, aku mendatangi Rasulullah saw. saat beliau duduk di majelisnya seusai melakukan shalat. Lantas aku mengucapkan salam kepadanya sambil memperhatikan apakah Rasulullah saw. menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak. Kemudian, aku melakukan shalat dekat sekali dengan beliau, sambil mencuri pandang. Ketika aku mulai mengerjakan shalat ia memandangiku namun ketika aku menoleh ke arahnya beliau segera berpaling.

Aku merasakan betapa lamanya kaum Muslimin memutuskan hubungan denganku, sehingga aku tidak tahan. Hingga akhirnya, aku memanjat pagar rumah sepupuku dan orang yang sangat kucintai, yakni Abu Qatadah. Kemudian aku memberi salam kepadanya, akan tetapi, demi Allah dia tidak menjawab salamku. Maka, aku berkata kepadanya, "Wahai Abu Qatadah, aku bersumpah dengan nama Allah kepadamu. Bukankah aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?" Namun, Abu Qatadah tetap diam membisu. Aku mengulangi ucapanku, akan tetapi ia tetap tidak mau menggerakkan bibirnya. Aku mengulangi ucapanku, dan ia tetap membisu. Ketika kuulangi sekali lagi ucapanku, baru saudaraku itu menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui."

Mendengar jawaban itu tak terasa air mataku bercucuran. Lalu, aku meloncat menaiki pagar dan berjalan menuju pasar. Ketika aku sedang berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada orang asing bertanya tentang diriku pada rombongan orang Syam yang biasa berjualan gandum di Madinah. "Siapa bersedia menunjukkanku kepada Ka'ab bin Malik?", kata orang asing itu. Lalu, orang-orang menunjukkannya kepadaku. Maka, ia menemuiku dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan kepadaku.

Surat itu ditulis sobekan sutera yang bunyinya, "Amma ba'd. Kami mendengar bahwa sahabatmu telah mengucilkan dirimu, padahal Allah tidak menjadikanmu di tempat yang hina dan sia-sia. Karena itu bergabunglah bersama kami, kami akan menolongmu". Maka aku berkata kepada diriku, "Ini juga fitnah." Lalu, aku menuju tungku untuk membakar surat tersebut.

Keadaan seperti itu kami alami sampai empat puluh malam. Tiba-tiba utusan Rasulullah saw. datang kepadaku dengan membawa instruksi baru, "Rasulullah saw. menyuruh agar engkau menjauhi istrimu." Tentu saja aku terkejut dan bertanya kepadanya, "Aku menceraikannya atau bagaimana?" Ia menjawab, "Tidak, tapi jauhilah dan jangan mendekatinya!" Rasulullah saw. juga mengutus utusan kepada dua orang sahabatku dengan perintah yang sama. Maka aku berkata kepada istriku, "Pulanglah ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberikan keputusan apa saja yang Dia kehendaki mengenai masalah ini."

Istri Hilal bin Umayah datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayah sudah tua dan tidak ada yang melayaninya, apakah engkau mengizinkan aku melayaninya?" Rasulullah saw. menjawab, "Boleh, akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu (berhubungan intim)." Istri Hilal berkata, "Demi Allah, ya Rasulullah, dia tidak mempunyai gairah sedikitpun kepadaku. Demi Allah, dia selalu menangis sejak peristiwa itu sampai hari ini, hingga aku khawatir ia akan menjadi buta."

Ka'ab berkata, "Sebagian keluarga berkata kepadaku: 'Mengapa engkau tidak memintakan izin istrimu kepada Rasulullah saw., padahal Rasulullah saw. telah memberikan izin kepada istri Hilal bin Umayah untuk melayaninya." Aku menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memintakan izin untuk isteriku, aku tidak mengerti apa yang akan dikatakan Rasulullah saw. bila aku meminta izin tentang hal ini, karena aku seorang laki-laki yang masih muda."

Keadaan seperti ini kami alami selama sepuluh hari, hingga genaplah lima puluh hari dari sejak Rasulullah melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami.

Pada suatu pagi di hari yang kelima puluh aku melakukan shalat shubuh di rumah, dan keadaan kami persis seperti yang telah disebutkan oleh Allah: bumi yang luas ini terasa sempit bagiku, bahkan aku sendiri merasakan sesak di dadaku. Ketika aku sedang berada di kemah yang kubangun di sebuah perbukitan, aku mendengar suara orang berteriak dengan keras dari balik bukit, "Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah!" Maka aku langsung bersujud, dan aku tahu bahwa jalan keluar telah tiba (Allah telah menerima taubat mereka)."

Dan, memang benar bahwa Rasulullah saw. mengumumkan penerimaan taubat ketiga orang yang telah tertinggal dari perang Tabuk ini, setelah shalat shubuh. Orang-orang pun ramai mendatangiku memberikan kabar gembira itu. Demikian juga yang terjadi pada kedua sahabat yang senasib denganku, mereka didatangi para sahabat lainnya.

Selepas shubuh, tampak seorang laki-laki menaiki kudanya, lalu melesat menuju tempat tinggalku. Tak cuma itu, dari arah lain juga tampak seorang dari Aslam berupaya mencapai perbukitan, sambil meneriakkan kabar gembira untukku itu. Suaranya melengking hingga lebih cepat sampai ke telingaku, ketimbang orangnya.

Ketika pemilik suara yang membawa kabar gembira sampai kepadaku, kabar gembira sampai kepadaku, aku langsung melepaskan dua pakaianku dan memakaikannya apda orang tersebut. Padahal, saat itu aku tidak memiliki pakaian selain dua lembar itu. Maka itu, aku terpaksa meminjam dua pakaian kepada keluargaku untuk kukenakan, lalu berangkat menuju Rasulullah saw. Sesampai di tempat yang kutuju, orang-orang menyambutku dengan memberi berita gembira yang mengharukan itu. Mereka berkata, "Selamat atas diterimanya taubat Anda oleh Allah."

Tak mau menyia-nyiakan waktu, begitu sampai, aku segera masuk masjid untuk menemui Rasulullah. saat itu Rasulullah saw. tampak sedang duduk di tengah-tengah para sahabat, tiba-tiba Thalhah bin 'Ubaidillah berdiri untuk memberi salam dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun dari kalangan muhajirin yang berdiri kecuali Thalhah. Itu sebabnya, saya tidak pernah melupakan Thalhah dengan peristiwa tersebut."

Ka'ab meneruskan kisahnya, "Ketika aku memberi salam kepada Rasulullah saw. beliau mengatakan kepadaku dengan wajah berseri-seri, "Bergembiralah dengan hari terbaik sejak engkau dilahirkan oleh ibumu." Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apakah berita gembira hari ini darimu atau dari Allah, wahai Rasulullah?"

"Dari Allah.", jawab Rasulullah saw. dengan wajah yang berseri-seri bak sekeping bulan, lantaran merasa bergembira. Ketika aku duduk di hadapan Rasulullah saw. aku berikrar, "Ya Rasulullah, sebagai bukti taubatku kepada Allah, maka aku lepaskan seluruh hartaku sebagai shadaqah untuk Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah saw. pun menjawab, "Tahanlah sebagian hartamu, dan itu lebih baik bagimu."

Aku berkata, "Aku akan menahan bagianku yang ada di Khaibar, ya Rasulullah." Lalu aku meneruskan ikrarku, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku sebab kejujuran. Dan sebagai bukti taubatku kepada Allah, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur sepanjang hayatku."

Ka'ab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun yang diuji oleh Allah karena kejujurannya, semenjak aku berlaku jujur pada Rasulullah saw. Demi Allah, sejak peristiwa itu hingga hari ini, aku tidak punya niat untuk berdusta sedikit pun. Aku berharap, semoga Allah senantiasa menjagaku pada sisa-sisa umurku."

Berkenaan dengan peristiwa itu, Allah menurunkan wahyu-Nya,

"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (At-Taubah : 117-119)

Ka'ab berkata, "Demi Allah, tidak ada satu pun nikmat yang diberikan Allah kepadaku sejak aku mendapat hidayah yang lebih besar dan berkesan dalam jiwaku dibanding kejujuranku kepada Rasulullah saw. Andaikan saat itu aku berdusta, maka pasti akan binasa seperti mereka yang telah berdusta. Allah swt. berfirman tentang mereka yang berdusta dengan kata yang amat pedas,

"Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu." (At-Taubah : 95-96)

Ka'ab berkata, "Kami bertiga diselamatkan dari urusan mereka yang alasan diterima dan dimohonkan ampunan oleh Rasulullah saw. karena bersumpah. Rasulullah saw. menangguhkan urusan kami, sehingga Allah memberi keputusan tentangnya. Dalam firman-Nya Allah menjelaskan,

"dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (At-Taubah : 118)

Jadi, penangguhan yang disebutkan oleh Allah itu tidak disebabkan oleh pembelotan kami dari peperangan, tetapi semata-mata karena ditangguhkan dari perbuatan orang-orang yang gemar beralasan dan bersumpah di hadapan Rasulullah, hingga beliau menerima alasan mereka."


HIKMAH DARI KISAH DIATAS :

* Ka'ab menyadari bahwa yang ia lakukan adalah kesalahan dan patut untuknya sebuah hukuman
* Kejujuran itu amatlah penting
* Iqob berupa peng-off-an sementara merupakan metode Rasulullah saw. untuk mendidik sahabatnya yang membuat kesalahan fatal, dan itu beliau terapkan serta terbukti berhasil
* Ketabahan Ka'ab bin Malik dalam menjalani iqob tersebut karena kecintaannya pada Allah saw. dan Rasulullah saw.
* Ketaatan kaum muslimin dalam mentaati instruksi Rasulullah saw. untuk tidak berbicara dengan Ka'ab menunjukkan kekompakan umat Islam pada saat itu
* Ketika taubat Ka'ab diterima, lantas ia bersungguh-sungguh untuk benar-benar membuktikan bahwa dirinya telah berubah dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi


Diambil dari buku "Yang Berjatuhan di Jalan Dakwah" karya asy-Syaikh Fathi Yakan, terbitan Al-I'tishom-Jakarta Timur.

~M.T.Q~

1 komentar:

  1. Assalaamu'alaykum wr wb. Kalau boleh tau apa yg menyebabkan anda di'iqobkan?atau paling tidak apakah kesalahan tersebut mirip seperti Ka'ab? Wassalamua'alaykum wr wb

    BalasHapus

Silakan Komentar