Mohon Maaf Kepada Seluruh Pembaca, Karena Kesibukan Admin Blog Ini Jadi Jarang Update. Insyaallah Kedepannya Akan Lebih Sering Update Demi Kelangsungan Dakwah.
________________

Selasa, 29 Maret 2011

Episode Seorang Hamba

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Saudaraku yang budiman, sungguh saat ini ada sebuah rasa yang menyesak di dada...
Menghantarkan jari-jari ini segera menggelitik keyboard laptop untuk menuangkan segala pikiran ini...
Sungguh inginnya, sampai saya tak lagi merasakan kantuk padahal saat menulis artikel ini saya belum lagi tidur seharian...

Saudaraku, beberapa bulan terakhir dalam rantauku di Yogyakarta, kudapati sekian ilmu yang amat bermakna...
Ilmu tentang kehidupan, tapi ini lebih dari sekedar itu...

Mungkin anda perlu tahu latar belakang saya...
Ya, saya adalah seorang yang punya hobi mendekatkan diri pada Allah SWT, sang Rabb tunggal semesta alam.
Bahkan demi supaya bisa dekat dengan-Nya, saya memutuskan untuk mengabdikan diri ini hanya untuk-Nya...
Beribadah kepada-Nya, berjuang pula di jalan-Nya...

Dan ternyata sepertinya cinta ini tak bertepuk sebelah tangan...
Allah membalasnya dengan memberikan gift berupa hidayah, dan mengenalkan saya pada jalan panjang bernama dakwah...

Terus saya geluti dunia ketauhidan...
Semakin lama, semakin dalam menyelam...
Hingga kini sepertinya saya menjadi kecanduan, dan tak bisa lepas dari jalan itu...
Walaupun banyak peluang untuk berhenti, tapi alhamdulillah saya masih bertahan, dan insyaallah akan terus bertahan...

Berjuang di dakwah benar-benar membentuk kepribadian saya...
Saya menjadi amat cinta dengan masjid, Qur'an, dan yang paling spesial adalah Allah menghadiahkan saudara-saudara terindah dalam hidup saya yang menemani hingga ujung jalan nanti (insyaallah).

Saya begitu gandrungnya dengan tarbiyah, saya begitu idealisnya memegang syariah, dan saya begitu eratnya menggenggam ukhuwah... Inilah dakwah, yang membentuk saya menjadi manusia yang berpasrah hanya kepada Allah yang Maha pemurah...

Namun ternyata tak cukup sampai di situ Allah memberi saya hadiah...
Ia lalu menggariskan bahwa saya harus merantau jauh dari sebuah kota bernama Pekanbaru, tempat awal saya berjuang, menuju kota Yogyakarta, tempat saya harus menimba ilmu di bangku perkuliahan...

Di sini (Yogyakarta) pun lantas saya tak juga bisa meninggalkan hobi yang satu itu...
Saya terus mencari dan mencari dimana saya bisa meneruskan dakwah saya...
Dan alhamdulillah sampai saya mengetik artikel inipun saya masih berusaha terus istiqomah...

Namun ternyata ada sesuatu yang berbeda...
Di Yogyakarta atau yang biasa disebut Jogja ini, Allah memperlihatkan saya pada banyak hal yang amat memberi saya pelajaran tentang dakwah...

Dalam pencarian saya akan hidayah di Jogja, saya menemukan banyak hal baru yang belum pernah saya temui sebelumnya...
Dan anehnya, hal-hal itu semakin menambah kekuatan saya untuk terus berada dalam ketaatan kepada Allah meski saya jauh dari pembinaan awal...

Ya, jika di Pekanbaru dulu saya hanya belajar banyak teori tentang dakwah, bergaul hanya dengan orang-orang yang sudah tersentuh hidayah, dan tantangan yang dihadapi pun masih tergolong mudah hanya menghadapi guru atau warga yang suka marah-marah karena kekurang pahaman mereka terhadap dakwah... Maka disini jauh lebih kompleks daripada itu...

Demi Allah, pengalaman saya di kota Jogja ini benar-benar mengantarkan saya kepada syukur yang teramat atas kehidupan yang pernah saya alami sebelumnya...

Disana (Pekanbaru), saya tinggal bersama kedua orang tua, semua fasilitas terpenuhi, kasih sayang terpenuhi, hidup enak dan dimanja. Sedangkan ketika saya disini (Jogja), saya hidup sendiri, berjuang mengatasi segala masalah sendiri, tak ada kelengkapan fasilitas dan harus pintar-pintar mengatur kehidupan.

Disana, saya bersama dengan orang-orang sholeh yang tulus berjuang di jalan Allah, mereka semua saling mendukung dan berukhuwah. Sedangkan disini, saya merasa sulit mencari orang-orang dengan kaliber ketulusan dakwah seperti mereka, adapun hanya beberapa.

Disana, saya punya adik-adik binaan yang tak hanya sekedar hubungan mentor dan mentee, tapi sudah seperti saudara kandung, bahkan lebih dekat dari itu. Disini, saya tak menemukan adik sedekat dan sebaik mereka. Saya memang membina generasi penerus, tapi hubungannya tak lebih dari guru dan murid, dibatasi kepentingan transfer ilmu, tak lebih dari itu.

Namun, dengan kondisi disana yang amat nyaman dan kondusif, saya masih berdakwah malas-malasan, masih berjuang enggan-engganan, masih beramal karena-karenaan.
Tapi disini, saya melihat banyak ikhwah yang kondisinya lebih memprihatinkan, namun perjuangan mereka jauh lebih dahsyat. Mereka rela tak makan demi bisa mengurusi dakwah ini, mereka rela tak tidur demi menegakkan agama ini.
Allahuakbar, betapa malunya saya melihat kenyataan ini...

Saya bertanya-tanya, sebenarnya kenapa bisa mereka seperti itu?

Lalu saya pun bertualang mencari jawabannya...

Saya kembali menganalisa, apa itu dakwah?
Mengajak, iya benar. Mengajak kepada apa?
Mengajak untuk berbuat baik dan mengajak untuk menjauhi keburukan, yap betul. Tapi mengajak siapa?
Nah, siapa nya ini lah yang menjadi sebuah dilema.

Risalah Islam dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. Sebagaimana firman Allah SWT :
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya' : 107)

Artinya, Rasul diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, Rasul diutus untuk apa? Tentu untuk menyampaikan risalah Islam. Nah, berarti risalah Islam itu sendiri adalah rahmat bagi seluruh alam.

Apa maksud rahmat bagi sekalian alam?
Tentu adalah Islam sebagai agama hadir di muka bumi untuk membawa sebuah kedamaian, kasih sayang, dan kesejahteraan bagi seluruh elemen alam termasuk manusia.

Mau bukti?
Perhatikan saja Al-Qur'an, sebuah pedoman hidup yang amat shahih.
Jikalau ia diamalkan, tak hanya membawa kebaikan untuk insan pengamalnya saja, namun juga untuk lingkungan si pengamal.
Contoh bagaimana didalam Qur'an diatur hukum haramnya riba, ada pula hukum pernikahan, ada lagi hukum ketata negaraan, dan banyak lagi. Yang jika semua itu kita laksanakan, tentu akan melahirkan sebuah keseimbangan di muka bumi.

Berarti, Islam bersifat universal, bahkan bisa berlaku pula untuk kalangan kafir, munafik, musyrik, yang mana bila mereka melaksanakan tata kehidupan Islam dengan baik akan mendapatkan manfaat dan kebaikannya. Apalagi jika mereka benar-benar beriman kepada Allah.

Permasalahannya sekarang adalah, banyak orang tak menyadari bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin. Akibat si musuh nyata yakni syaitan, ia menghembuskan ke dalam hati orang-orang yang ingkar untuk membenci syariat ini dan menghancurkan orang-orang yang menjalankannya. Disinilah terjadi konflik antara yang haq (yakni yang datangnya dari Allah) dengan yang bathil (yakni yang dihembuskan syetan).

Maka, agar semua orang sadar bahwa Islam itu rahmat bagi sekalian alam, dan agar yang bathil itu benar-benar bisa ditumpas, solusinya adalah dengan dakwah.

Pertanyaannya lagi adalah, sudah sejauh mana dakwah kita?

Pertanyaan ini yang jawabannya nanti akan menjadi jawaban bagi pertanyaan mengapa banyak aktifis yang rela berjuang mati-matian untuk dakwah, sementara ada pula yang berjuang dengan malas-malasan untuk dakwah ini.

Ya, lagi-lagi saya melakukan analisa, kali ini tak cuma sekedar logika.
Karena jawaban pertanyaan ini adanya di lapangan.

Ummat, merekalah tolok ukur sejauh apa dakwah sudah mewarnai negeri ini.
Ummat, merekalah cerminan para da'i yang getol ceramah sana sini di negeri ini.
Ummat, hanya dari mereka kita bisa tahu apakah perjuangan kita itu berarti atau malah dianggap basi.

Maka sayapun terjun kepada ummat.
Awalnya tentu dari yang terdekat, dulu ketika masih di kampung halaman saya biasa berdakwah kepada saudara-saudara dan adik-adik yang telah tersaring seleksi alam. Ya, merekalah orang-orang pilihan yang mendapat hidayah untuk bisa bergumul dalam dunia dakwah.

Namun, dulu (bahkan terkadang sekarang pun masih) saya begitu merasa berat dakwah ke mereka. Godaan terbesar adalah pada lemahnya militansi diri sendiri. Kurangnya kepahaman akan makna dakwah dan kurangnya rasa memiliki dakwah, itulah batu penghalang yang paling menghambat gerak dakwah saya.

Padahal Allah SWT berfirman :
"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. At-Taubah : 41)

Ketika merasa ringan, oke saya berangkat. Namun ketika kemudian merasa berat, saya pun lebih menuruti hawa nafsu untuk tidak berangkat.

Lalu kemudian, ketika saya mulai beranjak ke kota rantau, saya mulai mencoba terjun lebih dalam menyelami ummat.

Mulai dari memahami karakteristik ummat cilik dengan mengajar TPA. Kemudian memahami kepribadian remaja tanggung dengan menjadi mentor siswa SMP. Lalu menyelami dunia dakwah kampus dan dakwah sekolah di Jogja. Mencoba pula mengerti bagaimana tiap gerakan-gerakan dakwah beraksi.

Lama kelamaan saya kembali berpikir, bukankah Islam itu rahmatan lil 'alamin?
Lalu mengapa saya hanya melihat satu sisi ummat yang menjadi objek Islam?

Timbul pertanyaan...
Adakah ummat ini dalam keadaan baik-baik saja?

Tiap saya melakukan perjalanan dengan motor tua saya, saya lalu memperhatikan bagaimana masyarakat di sepantaran jalan. Saya berpikir, jika selama ini saya selalu bergelut dengan para aktivis dakwah, lalu bagaimana dengan mereka? Bagaimana sentuhan dakwah di masyarakat yang 'ammah? Bagaimana kondisi ruhiyah mereka?

Saya lalu mulai hobi melakukan safari masjid. Melakukan perjalanan puluhan bahkan ratusan kilometer hanya untuk mendatangi sebuah masjid di kampung-kampung atau di kota lain yang mempunyai kultur unik, kental, dan berbeda.

Saya lalu mengikuti kajian-kajian dari berbagai tipe gerakan dan pemahaman Islam. Tak perlu saya sebutkan satu persatu, karena memang telah banyak gerakan-gerakan itu, dan mereka semua punya ciri khas dan cara memahami diin ini masing-masing. Bagi sebagian orang, tak nyaman untuk mengikuti hal yang tak seidea dengannya. Namun bagi saya, walaupun saya termasuk orang yang cukup idealis, tapi selama itu masih berpegang kepada Qur'an dan sunnah maka saya juga termasuk yang sangat menghormati perbedaan.

Ada yang orientasi politik, khilafah, tauhid dan sunnah, sosial kemasyarakatan, semua saya datangi untuk belajar melihat dari berbagai sudut pandang.

Masih belum puas dengan itu semua.
Kebetulan saya punya teman-teman kuliah yang sangat suka berekspresi, dan saya tak sungkan berteman dengan mereka. Walaupun kami tak seprinsip, tapi saya pikir kenapa saya harus menjauhi mereka. Toh saya bukan orang eksklusif, dan Islam tak pernah mengajarkan ekslusifitas.

Dari kebiasaan berekspresi itu, lagi-lagi saya menjadi semakin peka melihat lingkungan dari ragam sudut pandang.

Agenda keseharian yang padat membuat saya terpaksa sering pulang malam.
Awalnya pulang malam menjadi hal yang hambar.
Tapi lama kelamaan, lagi-lagi karena seringnya menempuh perjalanan dengan si motor tua, saya jadi memperhatikan bagaimana kondisi pengamen jalanan, ada juga anak-anak jalanan, ada penjual koran malam, ada pedagang kaki lima, ada juga anak-anak yang nongkrong di pinggir jalan, ada lagi penjaja kenikmatan sesaat yang sedang menanti pelanggan.

Kesemua itu kian menguak rasa penasaran saya.
Selama ini tak pernah saya selami bagaimana psikologis mereka.
Padahal saya dan saudara-saudara lain mengaku sebagai seorang penerus risalah. Lantas risalah seperti apa jika hanya disampaikan pada orang-orang yang sudah baik saja?

Ya, tak ada yang terpikir untuk menyentuh kalangan tadi dengan dakwah pula.
Padahal saya yakin, jika ditanya agama mereka pastilah Islam. Namun mereka jauh dari cahaya Islam. Mungkin sedikit banyaknya memang mereka tahu tentang Islam, namun seperti apa pemahaman mereka? Mengapa tak ada cahaya dakwah masuk ke mereka.

Menyelami psikologis masyarakat bawah yang jumlahnya mayoritas di negeri ini, itu menjadi sebuah pencarian jawaban tahap baru yang saya jalani.

Bersama para teman ekspresif tadi, kemudian jiwa muda kami bergejolak.
Kami berpikir bagaimana bisa mencari pengalaman sebanyak mungkin di masa muda. Namun bagi saya ada motivasi tambahan, yakni menyelami bagaimana memahami psikologis mereka dengan mencoba menjadi mereka.

Lalu eksperimen awal kami terjun mengamen.
Ya, walaupun saya cinta masjid, namun demi dakwah saya mencoba melakoni peran pengamen.
Karena saya ingin tahu apa yang ada di pikiran pengamen. Mana titik selah pikiran orang-orang seperti itu untuk bisa menerima dakwah dalam kehidupan mereka. Dan ternyata, menjadi mereka itu sulit!

Kami berjuang dua jam, menahan rasa malu dan menebalkan muka. Baru bilang permisi, kami sudah dihadapkan pada telapak tangan. Berkali-kali mencoba, hasilnya dua jam cuma dapat dua ribu rupiah. Masyaallah...

Lalu saya berpikir, seorang pengamen, bagaimana mungkin dirinya sempat memikirkan bagaimana mengisi ruhiyah-nya?
Sedangkan untuk mengisi perut saja belum tentu bisa. Apa sempat mereka memikirkan agama ini, walaupun untuk diri mereka sendiri saja?

Memang kami belum profesional dalam hal mengamen sehingga wajar cuma dapat segitu. Tapi saya rasa yang sudah perofesional pun tak kan jauh beda. Intinya untuk kehidupan sehari-hari saja fokus mereka sudah terkuras, apalagi mau membina ruhiyah?

Maka dengan kondisi seperti itu, bagaimana solusi da'i untuk menyentuh mereka? Bagaimana solusi da'i untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada mereka? Padahal mereka juga berhak. Ya, mereka berhak mendapatkan kepahaman dan pengamalan syariat ini secara kaffah.

Belum puas lagi dengan percobaan menjadi pengamen.
Suatu waktu, saya hadir dalam suatu kajian yang disana membahas tentang degradasi moral dan prilaku menyimpang di akhir zaman ini berupa perzinaan yang merajalela. Zina, ini bukan perkara sederhana. Jika hal ini sudah tak lagi terkendali, dan malah menjadi sebuah komoditi, maka inilah tanda-tanda kiamat saudaraku!

Mengingat hal itu, saya jadi terngiang firman Allah :
"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. Al-Anfaal : 25)

Ya, Allah mengatakan dalam ayat itu bahwa siksaan Allah tak hanya akan datang kepada orang-orang yang melanggar hukum-Nya, namun juga akan menimpa kita orang-orang di sekitar mereka yang tak mencegah atau pun melakukan dakwah kepada mereka, padahal kita tahu dan kita mampu.

Saya teringat bahwa di Jogja ada sebuah tempat yang menjadi pusat lokalisasi tersohor, 'Pasar Kembang'. Mungkin sebagian anda biasa mendengarnya dengan sebutan 'SarKem'.
Ya, disana ada praktek prostitusi dan itu sudah berlangsung sejak lama, dan gawatnya itu sudah menjadi semacam hal lumrah. Nastaghfirullah...

Tapi, selama saya hidup dan berbicara tentang pelanggaran ummat hari ini dalam hal prostitusi, saya tak pernah melihat sebobrok apa mereka sebenarnya. Saya hanya mendengar dari cerita-cerita orang dan membaca dari tulisan-tulisan. Saya tak pernah tahu, mengapa mereka terus menjadi ummat yang bobrok? Mengapa seolah tak ada cahaya dakwah yang datang kepada mereka? Seperti apa tipikal mereka hingga para da'i enggan menjamah dunia mereka untuk di-Islamisasi?

Lalu saya mengambil langkah yang saya yakin bagi anda akan menjadi suatu langkah yang kontroversial. Saya sebenarnya sudah tahu langkah ini nantinya akan menimbulkan ragam reaksi diantara anda. Tapi saya mengambil keputusan ini karena Allah. Karena saya ingin melihat kondisi ummat, memahami dari dekat seperti apa pola pikir, pola hidup, dan motivasi mereka dalam beraktivitas.

Maka saya bersama teman-teman ekspresif saya tadi berangkat lagi survey terjun lapangan. Ya, malam itu sekitar pukul 03.00 WIB dini hari kami datang ke TKP. Simpel, tujuan kami hanya ingin mencari tahu seperti apa dunia malamnya mereka.

Kami memarkir motor dan berjalan ke arah gang yang menjadi sumber kehidupan malam itu. Kami sempat ragu dan takut-takut, terutama saya. Tapi kami lalu melanjutkan masuk ke gang itu. Dan potret kehidupan yang saya lihat malam itu benar-benar membuat saya tak henti berdzikir dan beristighfar kepada Allah di dalam hati. Kami mondar-mandir dalam gang itu tak lebih dari 10 menitan saja. Namun 10 menit itu bena-benar membuat saya merasa ditampar.

Anda jangan ber-negative thinking. Survey ini saya lakukan karena Allah dan sungguh ini benar-benar yang paling menakutkan bagi saya. Sepanjang perjalanan kami dalam gang sempit itu saya tak melihat ke arah lain kecuali mata saya hanya tertuju pada jalan yang akan saya lalui. Ya, saya benar-benar harus menjaga pandangan di dalamnya. Telinga saya ini tak henti-hentinya mendengar obrolan-obrolan sensual, baik cuma sekedar pembicaraan antar sesama 'mereka', ataupun seputar negosiasi. Bahkan seorang teman saya mendapat colekan dari 'mereka', tak cuma satu kali tapi berkali-kali. Namun sepertinya Allah SWT masih melindungi saya, tak ada godaan langsung yang saya alami di dalam gang itu dan tak ada yang menegur saya. Padahal 'mereka' terus menggoda orang-orang yang lewat dengan kode-kode siulan atau psst-psst an.

Keluar dari sana dengan lutut yang bergetar, badan yang berkeringat ketakutan, jantung yang berdebar kengerian. "Ya Allah, dimana kami para hamba yang sudah berazzam di jalan dakwah-Mu ini???", tanya hati saya.

Bagaimana mungkin kami terus berkoar-koar tentang dakwah di masjid atau kampus dan sekolah-sekolah, sedangkan di sekitar kami masih ada pelanggaran berat syariat seperti ini yang tak terjamah dakwah.

Satu hal yang menarik saya temukan di gang sempit itu adalah, ternyata ada masjid didalamnya. Sebuah masjid kecil, atau mungkin kita sebut musholla. Lalu apa fungsi masjid itu disana jika praktek itu masih juga terus terjadi.

Padahal mereka bila ditanya tentu mayoritas beragama Islam. Tapi kenapa Islam tak mampu menjadi pencerahan hidup untuk mereka. Mereka pun bila ditanya motivasinya tentu karena himpitan ekonomi, tapi kenapa Islam seolah tak menjadi solusi untuk masalah mereka itu? Kenapa mereka harus melakukan praktek itu? Belum lagi maksiat sampingannya ada miras, narkoba, dan perjudian yang mewarnai lakon prostitusi.

Jawabannya adalah, karena tak adanya dakwah menyinari mereka. Bagaimana hidayah bisa datang jika sholat pun mereka jarang, dan malam-malam mereka menjadi jalang.

Nastaghfirullah...

Saudaraku yang berazzam di jalan dakwah...
Sungguh yang saya tuliskan ini belum lagi semua pengalaman saya.

Saya belum menceritakan bagaimana perjuangan melawan kristenisasi saat erupsi Merapi yang lalu. Saya belum lagi menceritakan penyelaman watak ummat yang berada di pasar, atau juga yang berada di rumah-rumah sakit. Saya belum pula bercerita tentang penemuan dzikir usai shalat yang aneh dan terkesan mistik yang saya temui di derah Kulon Progo beberapa waktu yang lalu. Saya belum lagi menceritakan bagaimana saya menyelami fakta lapangan dakwah kepada non-Muslim.

Kesemua pengalaman itu nantinya akan saya ceritakan kepada saudaraku tersayang semuanya.
Insyaallah akan ada kesempatan lain kita berbincang lagi...

Namun yang pasti, dari semua pengalaman itu, saya kemudian menarik kesimpulan bahwa dakwah kita belum ada apa-apanya. Maka, pantaskah kita bermalas-malasan?

Selama ini kita hanya menyentuh orang-orang sudah dapat hidayah, tapi itupun kita masih sering mengeluh.
Padahal dakwah itu lebih luas daripada sekedar khutbah, tausyiah, kultum, halaqoh, ta'lim, kajian, mabit, dan banyak kegiatan ilmu keislaman lain yang biasa kita temui di dunia tarbiyah. Dakwah itu harus menyentuh ummat, dari yang tersholeh hingga terkufur sekalipun.

Seringkali terpikir bagi kita dalam rekrutmen dakwah, kita mem-fardhiyah-i orang-orang yang dari wajahnya sudah terlihat pancaran kebaikan. Orang-orang yang memang sudah senang duduk di masjid. Orang-orang yang sudah bisa baca Qur'an.
Tapi kenapa tak pernah terpikir oleh kita bagaimana kita bisa mendakwahi orang-orang yang punya karakter seperti Umar bin Khattab saat beliau radhiallahu'anhu masih berada dalam kekafiran?
Mengapa kita tak pernah terpikir bagaimana mendakwahi orang seperti Bilal bin Rabah yang dulunya hanya seorang budak?
Mungkin sudah banyak kita berdakwah kepada orang-orang yang mampu seperti Utsman bin Affan, atau orang-orang yang memang gandrung dengan Islam seperti Ali bin Abi Thalib atau Saad bin Abi Waqqash. Namun bagaimana dengan sisanya?

Apakah dakwah ini hanya milik langit?
Mengapa kita tak juga turun ke bumi?

Pandanglah realita saudaraku...
Yang kita hadapi adalah ummat...
Ummat dengan beragam tipenya...

Sungguh, dengan semua pengalaman itu semakin kuat azzamku di jalan dakwah ini...
Aku sungguh semakin bersyukur...
Bersyukur aku menjadi orang yang paham, bersyukur keluargaku semua dari orang-orang baik dan berkecukupan, aku bersyukur di kenalkan dengan saudara-saudara seperjuangan yang dahsyat semangat belajarnya, aku bersyukur pula mengenal pribadi-pribadi yang menautkan dirinya dengan masjid dan menjaga dirinya dari api neraka, aku bersyukur mengenal para akhwat yang menutup aurat mereka dengan sempurna. Sungguh aku bersyukur dengan semua itu...

Alhamdulillah ya Allah...
Benarlah bahwa nikmat iman dan Islam ini adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah...
Dan sekarang saatnya bagi kita untuk mendakwahi ummat. Mereka semua menunggu pencerahan dari kita, para generasi penerus di jalan dakwah...

Mari terus berjuang saudaraku...
Sambil kita terus belajar...

Janganlah jadi hamba yang manja.
Capek sedikit, ngeluh...
Sakit sedikit, ngeluh...
Salah sedikit, ngeluh...

Percayalah, di belahan bumi lain, ada ikhwah yang berjuang mati-matian demi dakwah ini.
Mereka rela tak tidur, tak makan, tak berkumpul dengan keluarga, dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka lainnya demi agar supaya dakwah ini tegak, kalimatullah ini tegak.

Tak malukah kita dengan mereka?
Padahal di depan mata kita banyak objek dakwah menunggu...
Namun karena kelemahan azzam dan militansi kita, mereka semua terlalaikan.

Kita baru menghadapi ujian yang mudah, jangan engkau berlebihan dengan bertingkah seolah ini ujian yang paling berat.

Kita belum melakukan apa-apa, jangan engkau berbangga seolah engkaulah sang pengubah dunia.

Ingat, sekiranya Allah menimpakan azab bagi negeri ini karena kekufuran penduduknya, maka orang-orang taat didalam negeri ini pun akan turut terkena azabnya.

Maka, mari terus semangat saudaraku tersayang...
Terus istiqomah...

Jalan ini masih panjang...
Jangan engkau mudah menyerah...

Jika kita lemah,
sungguh, mau ditaruh dimana muka kita jika bertemu Rasulullah saw. di akhirat nanti?

Percayalah pada janji Allah :
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali-Imraan : 104)

Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang beruntung. Yakni hamba yang mewarisi syurga 'Adn yang terdapat sungai-sungai mengalir di bawahnya. Amin...

Barallahu fi kum...

Billahi taufiq wal hidayah.
Walhamdulillahirabbil 'alamin...



~M.T.Q~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar